Sunday, June 06, 2010

TRUST-ing





Untuk saya, memang tidak mudah menjelaskan sesuatu berdasarkan teori-teori doang. Oleh karena itu, seringkali saya lebih senang mengambil contoh-contoh kisah sehari-hari sehingga lebih mudah dimengerti.

Bagi saya Trust merupakan rasa pengalaman seseorang untuk mengandalkan orang lain. Berkaitan dengan post sebelumnya tentang Phillia, saya yakin kepercayaan seseorang kepada orang lain muncul dalam proses pembentukan phillia itu. Ketika kasih phillia itu muncul, maka seseorang akan merasa yakin dan aman untuk mengandalkan orang lain.
Kepercayaan adalah barang mahal yang sangat mudah pecah belah. Seseorang yang mendapat kepercayaan orang lain sudah seharusnya, selayaknya, dan sepantasnya menjaga apa yang telah ia dapat. Kepercayaan itu sulit didapat tetapi mudah hilang.

Ambil contoh saja misalkan dan sebut saja cowo A dan cw B. Keduanya orang yang ‘laku, man!’. Banyak orang yang suka dengan mereka. Namun, orang lain tahu, meskipun mereka punya kelebihan itu, nyatanya mereka tidak pernah bertahan lama dalam hal yang namanya berpacaran.

Selidik punya selidik, cowo A punya mantan cewe 7 orang, sedangkan yang cewe B punya mantan 5 orang. Meski begitu, seringkali orang-orang tidak melihat sisi itu. Setiap kali mendapat yang baru, dengan mudah akan mengobral-obral bahwa pilihannya akan menjadi yang terakhir, khir,, khir,, dan khirr…., yang ini nyambung banget, yang ini ngerti gw banget-lah, yang itu oke banget-lah, dsb, dsb. Nyatanya, tidak sampai kesekian kali.. Sebenarnya, hal itu membuat saya berpikir, apa yang bisa dipercaya dari orang-orang semacam ini?

Saya mencoba membayangkan bila saya adalah seseorang yang mendekati cewe B tadi, untuk menjadi pacar ke-n nya (kesekiannya). Apakah saya akan berpikir, “Kalau cowo2 sebelumnya yang jauh lebih baik dari saya saja putus, bukankah ‘nasib’ saya akan sama saja seperti cowo2 sebelumnya?”

Meskipun dengan segala janji2nya yang akan menjadikan saya sebagai pilihan terakhirnya, tetapi kenyataan sebelumnya tidak berkata demikian. Alasan sering keluar adalah “ saya mencoba mengerti dia, dianya tak mau mengerti saya”. Klise…
Bahkan, bukankah seharusnya orang itu bersyukur bahwa masih ada orang yang masih mau mampir dalam hidupnya?

Saya justru belajar banyak dari pasangan-pasangan yang saya tahu bahwa mereka telah jadian sejak SMA atau awal kuliah dan bahkan masih berlanjut sampai sekarang atau entah akan sampai pelaminan? (amiiiin..) Beberapa diantaranya saya yakini akan sampai married.. Nice.. Saya berani bilang bahwa mereka pantas untuk disebut saling mengerti pasangannya.

Merry Christmas 2015!