Wednesday, April 16, 2014

TAKSI - Turis



TAKSI
Lagi, tulisan tentang taksi (di Bandung). Semoga ngga bosen dan sharingnya bisa bermanfaat buat yang baca.


Beberapa kali sharing tentang taksi, saya sadar ada yang terlewat setelah menonton acara Scam City, National Geographic yang dihost oleh Connor Woodman.

Apa yang saya lihat di Scam City, hampir sebagian besar tempat-tempat yang dikunjungi, taksi selalu menjadi sarana scam para turis.

Sebelum-sebelumnya, saya sharing sebagai penumpang lokal. Pengguna lokal, itu saja. Tapi kira-kira bagaimana kalau sebagai turis? Apakah perlakuannya akan berbeda?

Cerita saya sharing berdasarkan tanya jawab dan wawancara dengan para supir taksi dan sharing-sharing orang lain. Memang, ada supir yang enak diajak ngobrol, ada juga yang ngga suka ngobrol. Terpaksa diam sepanjang jalan, mendengarkan radio. Bagus kalo mendengar siaran radio, tetapi ngga sedikit yang memperdengarkan percakapan radio taksinya.
Cerita-ceritanya, tidak berarti semua supir berlaku demikian, tetapi bukan berarti juga sama sekali tidak ada. Saya ceritakan apa adanya, tanpa promosi atau memojokkan pihak tertentu.

Apa ada perlakuan berbeda ketika diajak bicara atau ngobrol?
Ya.

Jangankan dengan turis asing yang berbahasa berbeda. Dengan sesama orang Indonesia pun, yang berlogat berbeda, bisa jadi berbeda. Saya alami hal ini di beberapa taksi. Ketika saya mengajak ngobrol dengan bahasa Indonesia, ia (supir) hanya menjawab sebatas yang ditanya.

Ketika saya tahu bahwa ia berbicara dengan bahasa sunda, maka saya coba balas dan mulai ngobrol dengan campur bahasa Indonesia dan sunda. Saat itulah, ia terlihat lebih santai dan nyaman untuk bercerita…panjang lebar.

Meskipun saya lahir di Bandung, ada beberapa kejadian, saya sempat diduga turis dari Malaysia, Singapura, Tiongkok, Korea, atau bahkan transmigran dari Kalimantan atau Medan. Kejadian untuk supir-supir yang bukan dari daerah parahyangan.
Seringkali sulitnya berakting sebagai turis adalah supir-supir itu mengenal aksen bicara saya yang nyunda banget. Saya memang tidak jago akting.

Turis susah dapat taksi?

Masih banyak atau sebagian besar supir yang tidak bisa berbahasa inggris, ternyata membuat mereka enggan menaikkan penumpang turis asing. “Repot, susah jelasinnya!”
Turis Malaysia dan Singapura, katanya masih bisa sedikit-sedikit bahasa Indonesia. Jadi supir yang paham akan menaikkan mereka. Sebagian besar dari mereka pun hanya menyebut tujuannya, Pasar Baru, Lembang, Rumah Mode, dll. Supir tinggal mengarahkan.


Argo?

Duid memang selalu jadi perbincangan. Saya mendapati bahwa turis tetangga punya preferensi satu perusahaan taksi, BB. Mungkin karena pengawasan ketat perusahaannya, jadi tetap berpegang menggunakan argo asli taksinya. Turis yang beberapa kali datang ke Bandung jadi mengerti.

Apa sebabnya, banyak. Salah satunya adalah penerapan argo asli atau borongan. Masih ada taksi-taksi yang ngakunya bersih dari borongan, tapi melakukan borongan ke turis lokal (dari luar kota) dan mancanegara.

Kenapa bisa begitu, saya simpulkan kemungkinan tarif ongkos taksi di Bandung ini memang tergolong murah di bandingkan taksi di negaranya. Jadi, cukup banyak turis yang memberikan uang sratus ribu, tanpa kembalian. Bisa jadi, selembar merah ini sebenarnya masih jauh lebih murah daripada ketika ia kurskan ke mata uang negaranya. Kemudian, para supir pun men-generalisasi bahwa turis ‘mau’ dengan argo borong. Hal ini yang merusak harga.
Itu sebabnya, kenapa turis yang sering datang, cenderung memilih ke taksi BB.

Bagaimana suasana di taksi BB, yang membuat penumpang balik lagi?
Ada beberapa hal yang saya perhatikan, suasana BB yang berbeda dari taksi lain, meskipun dengan tarif yang sama.

1. Selalu pakai AC. (saya sempat singgung di post lalu)

2. Suasana dalam tidak ribut dengan radio perbincangan supir dan operator. Memangnya turis mau mendengarkan? Supir-supir yang sadar, suka mengecilkan suara, tapi ada juga yang kejar tayang. Penumpang di dalam belum sampai tujuan, sudah nyabet penumpang baru.

3. ID Supir. Penumpang lebih tenang dan nyaman ketika tahu siapa yang mengendarai taksinya. ID ini harusnya ada di semua taksi, tapi banyak yang tidak menyertakan juga sehingga mencurigakan apakah supir asli atau supir tembak.

4. BB dan Cp, punya penampilan supir yang baik dan kelihatan profesional. Coba perhatikan dari baju, celana, dan sepatunya. Sangat berbeda dengan supir yang mengendarai dengan sendal jepit atau telanjang kaki.

5. BB melakukan marketing di dalam taksi dengan majalah internalnya. Saya tertarik di salah satu halaman yang menuliskan daftar barang kembali. Barang-barang penumpang yang tertinggal dikembalikan ke pemiliknya.

Saya merasa hal ini bisa berdampak bagi penumpang memberikan image sebagai taksi yang aman dan profesional.
Selebihnya, scamming taksi yang paling sering adalah diajak berputar-putar. Jadi survey lebih dulu tentang peta jalan kota/tempat tujuan jika harus menggunakan taksi. Have a safe trip in Bandung!

**Jangan sampai cerita tentang taksi mengurungkan niat ke Bandung. Masih banyak hal-hal menarik yang bisa jadi bahan cerita seumur hidup ketika berkunjung di Bandung. Kota ini lagi bangkit. :)**


Pray for Indonesia, Jesus bless Indonesia.

Tuesday, April 15, 2014

Disconnect to Connect

Beberapa bulan lalu, saya putuskan mengeluarkan salah satu barang 'wajib' dari tas sehari-hari. MP3 player. Tujuan awalnya, mencoba supaya bisa lebih sosial, ngobrol.

Awalnya memang berat untuk melepaskan 'teman' sepanjang perjalanan atau sekadar menunggu. Apalagi kenyataannya, bila berada di angkutan umum, toh penumpang lain juga sebagian besar selalu sibuk dengan elektroniknya.

Entah main game atau chatting, sambil sebuah kabel tersambung ke telinga. Kejadian yang sama ngga cuman di angkutan umum, tapi sebenarnya hampir di semua tempat. Sayang, teknologi yang harusnya membuat dekat justru malah bikin tambah jauh. Saya merasa bahwa saya juga mengalami hal yang sama, tapi saya mencoba membatasi, walau memang ngga mudah.


Beberapa cara/ aturan yang saya coba adalah, tidak main hape ketika sedang bersama orang-orang/teman/ keluarga. Minimal saya silent, at least tahu ada sms atau telepon. Kalau dilihat tidak begitu penting, bisa dibalas lagi nanti atau telepon balik.

Cara kedua adalah 'nyabut' MP3 dari daftar barang wajib bawa. Penggantinya, saya coba lebih mengoptimalkan gambar-gambar/corat -coret di buku

Waktu itu, ketika terjebak hujan lebat dan tidak bisa pulang, saya putuskan untuk ngopi dulu sambil nunggu hujan agak reda. Mencoba merekam suasana orang-orang saat itu. Berlalu-lalang, juga yang sedang ngopi-ngopi.
Mereka yang sendiri tidak sedikit yang telinganya 'disumpal'. Berdua atau bertiga dengan teman-teman, atau dengan keluarga.



Pray for Indonesia, Jesus bless Indonesia!

Tuesday, April 01, 2014

Liver : Healed



Kalau ditanya, apa "kado" terbesar saat ini, bisa dibilang kesembuhan mami saya sendiri adalah kado luar biasa.

Ternyata selama ini, ceritanya hanya menjadi "draft"! Tanpa sempat dipublish. Selama itu juga, ceritanya ngga jadi berkat buat orang lain.

Singkat cerita...

Mami ternyata jaga makan makanan cukup banyak. Sebut aja, (dulu) daging sapi, daging ikan ngga bisa makan, makanan asam pun ngga. Alasannya, ngga bisa masuk. Lain dengan sekarang sudah mulai mau, berhubung perlu gizinya dari makanan tersebut.

Sampai satu hari, mami yang suka mual-mual dan perut terasa nyeri melilit-melilit, dibawa untuk cek ke dokter. Obat-obat ngga mempan, akhirnya cek untuk endoskopi. Di sana ketahuanlah, ternyata lambungnya 'bocor'. Menurut dokter, ada lubang/luka di lambung.
Dokter lab memberikan rekaman 'perjalanan' selang di dalam lambung. Terpaksa distop ditengah-tengah. Ngga kuat liatnya. Yaa namanya juga arsitek, urusannya selalu kertas, tinta, semen, bata. Haha

Selidik punya selidik, dari sana berlanjut lagi untuk cek up livernya. Yang mengejutkan, dari hasil cek up, ada angkanya yang tinggi, ternyata mami kena sirosis stadium tinggi. Ahh. Apa yang lain tidak syok? Pasti.

Konsultasi dengan dokter, bisa jadi terjadi karena salah satunya mami yang suka bangget makan pedes. Sepedes apa? Pedesnya ngga ada yang bisa menyaingi di rumah. Ketika orang lain bilang sudah sangat pedas, mami mungkin bisa bilang biasa saja atau ngga kerasa.

Pergumulan berbulan-bulan, sambil minum obat, sambil doa. Kami di rumah hanya selalu mengingatkan untuk menjaga supaya tidak makan yang terlalu pedas. Karena, alasannya, kalau ngga ada rasa pedas, yaa ngga nafsu untuk makan.

Sampai di akhir 2013, Oktober/Novermber, saat cek up lagi livernya. Melihat hasilnya, dokter tidak berkomentar apa-apa selain memberi tepuk tangan dan memberi selamat kepada mami saya. Angka yang begitu tinggi, sekarang normal, bahkan di bawah angka bahaya.

Kakak saya yang belajar medical science pun bilang, hal ini hampir mustahil. Praise the Lord!!

Apakah tanpa pedas berarti tanpa selera makan? Ngga juga. Sekarang, kami sangat senang melihat mami yang bisa makan walau dengan sangat sedikit pedas atau bahkan tidak pedas sama sekali. Justru jadi ngga kuat makan pedas.

Thank you Lord!


Pray for Indonesia, Jesus bless Indonesia!

Merry Christmas 2015!