Friday, June 29, 2007

not just a game

"apatis...dasar necron lvl 3!"

DotA dan sebagaimana game yang memerlukan strategi dalam permainannya, tidak hanya sebatas game yang cuman bikin pemainnya merasa senang karena nafsu bermainnya terpuaskan, tapi banyak hal yang bisa dipelajari. Game strategi bisa jadi cerminan kehidupan sehari-hari.

Gw main DotA, berarti gw harus memperlengkapi sebaik mungkin pahlawan yang gw pilih. Perlengkapan yang gw beli disesuaikan dengan musuh-musuh yang akan gw hadapi. Pilihan awal ini sedikit-banyak akan berpengaruh pada “perkembangan” pahlawan kita. Apakah ‘hero’ kita menjadi pahlawan yang siap bertarung atau tidak, artinya apakah ‘hero’ kita menjadi “pembantai” ‘hero’ pemain lain atau ‘hero’ kita yang menjadi mangsa empuk bagi ‘hero’ lawan?
Banyak faktor yang mempengaruhi kemenangan; teamwork dan pengalaman.

Maknanya? Sama halnya dalam kehidupan toh. Gw harus persiapkan diri gw sebaik mungkin gw bisa untuk hadapi ‘tantangan masa depan’. Apakah gw hanya menjadi ‘pengikut’ orang lain dan tidak menjadi ‘pemimpin’? Apakah kita menjadi orang yang terus ‘tunduk’ dan tidak ‘mendudukan’ (dalam arti positif tentunya)? Bagaimana gw bekerja sama dengan teman se-tim untuk saling bantu menghadapi 'hero' lawan.
Memanfaatkan adanya mini-map untuk terus memantau situasi agar tetap terkendali, dalam hadapi masalah harus lihat secara keseluruhan. Jadi, bakal tahu bagian mana yang salah dan bagaimana harus memberi solusi.

Tapi, ada kalanya walau sudah diperlengkapi dengan sebaik mungkin gw tetap saja kalah. Hidup juga toh ngga selamanya di atas terus. Kalo udah gitu, cari strategi lain.

Gw perlu pengalaman. Kalau sudah pernah melewati berbagai macam masalah, tentu bakal jadi orang yang sangat pengalaman dalam mengatasi masalah sehingga tidak perlu panik dan (kalau baik) kita bantu orang2 yang *baru* ngalamin masalah dan kasih solusi.

“Lakukan sesuatu. Jika belum berhasil juga, lakukan sesuatu yang lain. Hanya orang gila yang kehabisan ide…”
(Jim Hightower)

Thursday, June 21, 2007

Timbal Balik


Apa yang terpikirkan sekarang? Gw teringat akan (lagi) cerita seorang teman di kampus.


Layaknya hidup yang harus ditata dengan baik di masa sekarang supaya bisa kita nikmati di hari akhir nanti, berarti harus membuat 'persiapan' untuk itu. Itu lebih susah buat dibayangin memang.


Sederhananya, sekarang dia bilang 3 bulan jadi ngga bisa 100% menikmati liburan. Kenapa? Karena harus ngambil SP atas 'ketidakseriusan' nya di kelas saat kuliah. Ia terpaksa menjalani SP buat perbaiki ini-itu.

Gw tanya balik, kenapa ngga serius dari awal aja? Jadi, ngga buang waktu dan ngga buang uang? Toh, yang keluar hanya kata-kata penyesalan.

Tuesday, June 19, 2007

harvest moon

"Apa yang kita tabur pasti akan kita tuai..."

Sebenarnya, ini cerita lanjutan dari posting2 sebelumnya... Cerita mengenai sesorang yang tidak sadar akan sikapnya yang *cukup* menyebalkan. Katakanlah si A, entah sadar atau tidak kalau ternyata belakangan ini dia memang agak dijauhi (terutama beberapa teman2 cowok se SMA-nya).
Pas SMA, ada seseorang (katakanlah si B) yang *akhirnya* diajak omong tentang sikapnya yang mulai menyebalkan, dan si A adalah seseorang yang *menasihati* si B supaya berubah. Akhirnya, si B malah menarik diri dari temen2 mainnya.

Tapi, lain halnya dengan si A. Beberapa orang yang pernah menjadi *korbannya* memang melapor ke temen2 si A tentang sikapnya yang makin aneh dan menyebalkan. Namun, bukannya feedback positif, malah bikin makin negative aja. Para korban menceritakan kisah2nya pada penulis. Rumit. Ada korban yang tau klo dia tidak disukai si A, ada juga yang tidak tau...Separah itu, huh?

Masa awal2 kuliah si A mungkin memang belum menyadari bahwa dia dijauhi beberapa temannya. Mungkin dia berpikir masing-masing sibuk dengan kuliahnya. Teman cewenya pun mengakui kalo si A memang jadi sedikit aneh, sensi, rada nyebelin, dsb. Salahs eorang teman cewenya masih lebih bermurah hati, mengajak teman2 cowok nya untuk memaafkan sikap2nya dan tetap berteman dengan si A. Lalu dia cerita tentang jawaban cowok2 itu bahwa mereka (cowo2) memafkan tapi ngga usah temenan kaya dulu, atau (ekstrim) ngga usah ketemu lagi aja. Parah.

Berjalannya waktu, dia pastilah sadar. Bagaimana bisa? Mungkin dari beberapa acara main bersama (nonton, makan, atau ada yang ulang tahun), ada beberapa yang sering tidak bisa datang karena sibuk tugas kuliah, atau ada pula yang memang bilang tidak mau datang. Wooooowwww...
Sekali lagi, berdasarkan sumber terpercaya penulis, suatu waktu, si A (katanya) mengirim SMS tentang ucapan maafnya karena sikap2nya. Singkatnya, dia mengalami hal yang sama di perkuliahan. Dia korbannya. Betapa tidak mengenakkannya. Tapi bagaimana bisa percaya? Sepertinya tidak ada seorang teman cowo yang menerima SMS itu!

Sayang sungguh sayang, penyesalan memang datang belakangan. Sikapnya sudah terlalu melebihi batas kesabaran orang *kali*. Si A memang mungkin sudah menyesali perbuatannya dan teman2 sudah memaafkan segala sikapnya, tapi ada harga yang harus dibayar. Dia ngga akan bisa dapat kebahagiaan ataupun kpercayaan teman2nya (apalagi yang jadi korban).

So, lebih baik sadar diri dari sekarang daripada masalahnya nambah ribet, nambah ribet, nambah ribet. Bayar harganya lebih mahal lagi...

Saturday, June 02, 2007

teamwork

“Coming together is beginning, keeping together is a process, working together is a success!”

Ya, banyak dalam bidang kehidupan sekarang bahka dalam hal-hal terkecil yang kita lakukan menuntut adanya sosialisasi. Kita perlu interaksi dengan lingkungan sekitar. Dan suka ngga suka, mau ngga mau sosialisasi ini memang sudah jadi barang wajib buat sukses.
Kalau punya sikap yang supel dan bersosialisasi tinggi, maka akan memunculkan apa yang namanya teamwork. Kalo udah ada teamwork…sukses, siapa takut?
Zaman global emang menuntut untuk lebih kerja dalam tim. Dalam lingkup yang lebih kecil, katakanlah dunia perkuliahan. Dimana kita sudah dituntut “lebih” daripada SMA. Dimana kita bertemu dengan karakter orang yang lebih beragam dari luar SMA kita, luar kota, atau bahkan luar pulau yang punya kebiasaaan dan adat berbeda.

Gw pakai contoh, UAS Estetika Pa Fathul untuk bermain drama. Sebagaimana biasanya kelas MKU berkumpul mahasiswa-mahasiswa dari angkatan, fakultas dan jurusan berbeda. Singkatnya, kelas yang terdiri dari 30-an orang ini dipimpin oleh 2 orang coordinator untuk dibagi ke dalam beberapa divisi untuk pementasan. Yah memang setelah perjuangan keras sang coordinator, akhirnya terbentuk juga divisi2nya (pemain, dekor, wardrobe & make up, sound, lighting). Kenapa bisa sesusah itu? Ngga lain karena orang-orangnya belum saling kenal! Orang-orang masih saling mengelompok dengan teman-teman sejurusannya.

Akhirnya, setelah beberapa minggu lewat, barulah mulai muncul komunikasi yang lebih lepas dari sebelumnya. Semua divisi yang ada mau ngga mau harus bisa kerja sama. Kekompakan tim harus dibangun. Ya memang teamwork itu juga akhirnya muncul saat tiap divisi itu kerja masing-masing. Pasti ada interaksi dong antara anggotanya. Anggota divisi udah kenal (minimal tahu), baru muncul kompak kelompok. Rasanya memang ngga gampang, kan tetep perlu inisiatif tiap individu untuk mau bersosialisasi.

Menurut seseorang dari divisi pemain yang tidak mau disebutkan namanya, “Kekompakan timnya sudah mulai sangat terasa sampai 2 minggu sebelum minggu UAS. Terlihat di saat gladibersih semua divisi bekerja sama. Yah biar pun ada sedikit “ba-bi-bu” tapi ternyata oke juga. UAS nya pun berjalan sukses! Tegang bercampur senang… Gw bangga sama teamwork kelas N. Semua divisi kerjanya bagus. Tapi, sayang, setelah ini (UAS) yah harus bubar deh. Rasanya udah seneng-seneng eh, bubar. Setidaknya nambah-nambah kenalan ama anak2 jurusan lain.”


"Apapun yang Anda lakukan, lakukanlah dengan senang hati. Apa pun yang Anda pikirkan, pikirkanlah dengan senang hati." (Thaddeus)

Merry Christmas 2015!