Wednesday, April 18, 2007

on-time

Jaman sekarang aja, teknologi udah maju banget. Teknologi maju mendorong globalisasi jadi makin pesat. Dan, kalo udah urusan ama yang namanya globalisasi, mau ngga mau diperhadapkan ama yang namanya kompetisi. Ya, makin banyak kompetisi dan persaingan untuk menjadi yang terkompeten. Supaya bisa masuk dalam suatu persaingan, perlu mental. Salah satunya, mental untuk on-time.

Beberapa waktu lalu, sang penulis membaca sebuah tulisan pada baju merek lokal. Merek yang terkenal akan kata-kata humor atau plesetannya, bahkan sampai masuk MURI. Tulisan itu berbunyi, “Time is money, money is uang, uang is duit”. Sekilas lucu juga, tapi tulisan itu mencerminkan keadaan sekarang ini. Sementara negara-negara lain berusaha menghargai waktu sebaik mungkin, Indonesia belum bisa seperti itu. Kenapa yah?
Sejak saat itu, sang penulis mulai memerhatikan hal sekitar yang berkaitan dengan on-time.
Masih terlalu banyak kejadian2 yang tidak menghargai waktu walau di jaman yang udah mulai serba susah. Termasuk penulis, ia merasakan on-time itu sulit.

Salah satu contoh dari penulis:
Pertama, mahasiswa sekarang cenderung berlomba-lomba masuk kelas terlambat daripada masuk sebelum (mulai jam 7 masuk 6.45)/tepat waktu (mulai jam 7, masuk jam 7).
Kedua, berusaha menghindari mata kuliah dosen tertentu yang dianggap tidak menarik. Entah dosennya atau mata kuliahnya yang tidak menarik.

Hal ini berbeda 180 derajat dari keadaan mahasiswa universitas tahun 1980-an yang benar-benar mencari dan menuntut ilmu sampai ke Cina, Amerika, atau Eropa. Mereka datang sepagi mungkin untuk dapat tempat terdepan, tidak ketinggalan kelas satupun, dsb.
Kalau gini terus, mau dikemanain Indonesianya ntar?


***

Di lain hal, orang-orang Indonesia blom terbiasa untuk urusan on-time. Orang yang ada malah cenderung santai malah kelewat malas kerja.

>_as'07_<

humble

Suatu hari, diadakanlah sebuah acara di sebuah gedung. Sebuah acara yang menghadirkan orang-orang terdidik dan tersohor di bidang ilmunya sebagai pembicara maupun peserta undangannya. Menuntut keprofesionalitasan semua yang hadir. Acara dimulai pukul 18.00, tetapi kursi telah hampir penuh pukul 17.43. Akan tetapi...bukan hal diatas yang ingin dibicarakan

Usher 1 :”Selamat datang, Pak! Semoga menikmati.” (sambil memberi buku acara)
Guest 1 :”Terima kasih, Mba”
Usher 1 :”Silakan, Pak, saya antar ke dalam, masih ada kursi kosong di barisan depan”
Guest 1 :”Oh, boleh, boleh, terima kasih banyak”
*tak lama kemudian*
Usher 2 :”Selamat malam, Pak! Semoga menikmati acaranya.”
Guest 2 :”Terima kasih, Mba” (menyambar buku acara)
Usher 2 :”Bapak perlu saya an...”
Guest 2 :”O, tidak usah, terima kasih.... Saya terburu-buru”

Si Guest 2 berjalan tergesa melewati Guest 1 menuju barisan duduk terdepan. Sampai di depan, terlihat ada 2 kursi kosong. 1 dibarisan terdepan dan satu lagi tepat di belakangnya. Tanpa basa-basi, Guest 2 langsung merebahkan badannya ke kursi.

Guest 2 :”Wadaaau...!”

Pantatnya tertusuk sesuatu.

Guest 2 :”Sial! Koq bisa-bisanya ada jarum di tempat seperti ini?”

Ia bangkit dari tempat duduknya, pindah ke kursi di belakangnya. Bersamaan dengan itu, Guest 1 telah sampai setelah diantar.

Guest 1 :”Salam kenal, nama saya Hardiman. Orang biasa panggil Pak Iman”
Guest 2 :”Salam kenal juga, Pak Iman, saya Joko”
Pa Iman :”Pak Joko, kenapa Bapak duduknya pindah ke belakang? Anda di depan saja, biar saya yang duduk di barisan kedua”
Pa Joko :”Oh, tidak usah, Pak, saya di sini saja”
Pa Iman :”Ah, jangan begitu, Pak Joko kan sampai di sini lebih dulu dari saya. Jadi Bapak lebih pantas untuk duduk didepan”
Pa Joko :”Tak apa, Pak, saya duduk di sini saja”
Pa Iman :”Aduh, saya jadi tidak enak dengan Anda, Pak, serasa mengambil hak Anda”
Pa Joko :”Tidak apa-apa koq, Pak. Saya cukup menikmati dari sini saja. Bapak di depan.”
Pa Iman :”O ya oke deh kalau Anda begitu. Terima kasih banyak lho, Pak”

Pak Joko hanya berharap Pak Iman merasakan apa yang dia dapat. Tertusuk jarum juga. Akan tetapi, Pak Hardiman tidak merasakan apa-apa pada pantatnya sampai akhir acara.

*masa sih kita mau melakukan hal yang panjang dan lebar hanya untuk sesuatu yang ngga berguna, malah berniat untuk mencelakakan orang lain*
>_as’07_<

Thursday, April 12, 2007

kesan pertama

Beberapa waktu lalu, seorang HT (hamba tuhan) yang telah dijadwalkan dalam sebuah PD, berhalangan hadir. Beliau menelepon kepada pemimpin PD bahwa ia meminta maaf tidak bisa memenuhi janjinya beberapa bulan lalu.

Kabar yang seperti itu jelas bukan untuk pertama kalinya bagi pemimpin PD, tetapi pemberitahuannya yang mendadak akan menyulitkan bagi si pemimpin untuk segera mencari penggantinya. Lalu, “…tapi, Pak, tenang saja, saya sudah menyiapkan anak buah, tangan kanan saya untuk menggantikan besok…” lanjut suara di seberang sana. Si pemimpin pun lega karena tidak perlu mencari gantinya.

Keesokan harinya…
“Mana orang penggantinya?” saya membatin. Tak lama kemudian tampak seseorang menaiki tangga. Postur tubuhnya tidak terlalu tinggi, wajahnya dan potongan rambutnya tampak masih sangat muda. Sedikit banyak mengurangi persepsi saya & mungkin juga orang lain akan kesan berwibawa. Namun, orang itu berpenampilan sangat rapi. Berbalut jas hitam, berdasi merah maroon bermotif, dan kemeja polos bergaris. Ia membawa sebuah tas berukuran sedang yang dipastikan berisi sebuah Alkitab dan berkas-berkas khotbah. Ia berjalan dengan tegas dan pasti menuju barisan bangku terdepan begitu juga saat naik mimbar, menandakan kesiapan akan tugasnya malam itu.

Sejak pertama kali berbicara, ia merubuhkan semua tembok persepsi orang-orang akan dirinya. Saya juga. Suaranya begitu lantang di seluruh ruangan. Sampai tamatnya pun, ia telah menyampaikan FT yang runtut dan mendalam. Kecil-kecil cabe rawit, sudah pedas sebelum digigit.

Kejadian dia atas saya bisa belajar :
HT yang berhalangan:
Ketika ia mengabarkan tidak bisa hadir, ia sekaligus memberi solusi bagi pemimpin PD dengan mengutus tangan kanannya sendiri. Jelas, ia mencoba memberikan solusi terbaiknya. Berikan solusi terbaik.
Sang tangan kanan:
+ Ia bisa tetap pede dengan keadaan dirinya; apa adanya
+ Ia menunjukkan kualitasnya sebagai HT, kualitas profesionalitasnya, kulitas terbaiknya sehingga tidak dianggap remeh orang lain.

Sudah pasti, kita perlu menghargai lebih dulu sebelum kita ingin dihargai. Buktikan kapasitas bahwa kita tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika begitu, orang lain akan menghargai & hormat dengan sendirinya. Dibarengi kerendahan hati, menjadi cikal bakal apa yang disebut “kepercayaan”.

train brain

Ada suatu yang menurut saya cukup menarik untuk dibagikan dan untuk dilakukan.
Entah orang menyebutnya apa, tapi saya sendiri menyebutnya “pertanyaan pancingan”. Pertanyaan ini dilontarkan sebelum kita menjawab pertanyaan seseorang. Pertanyaan-pertanyaan ini sadar tidak sadar selalu keluar dari mulut dalam percakapan sehari-hari.

Lebih mudahnya, saya coba gunakan contoh sbb:

A : “Z, sebenarnya warna merah termasuk warna primer atau sekunder?”
Z : "(pertanyaan pancingan) Yang termasuk warna primer apa aja?”
A : “Biru, Kuning, Merah” (Si A mulai sadar atas pertanyaannya)
Z : (terdiam, tersenyum atau malah ngakak melihat kebodohan si A)
A : “O, iya,ya” (dalam hati, sadar)

Atau (yang males jawab)

M : “Hei, I, gambar arsitektural dirender ngga sih?”
I : “Biasanya gimana?”
M : “Dirender”
I : “Ya udah...”
M : “...”

Atau (yang kasar, malah digoblok-goblokin)

E : “B, yang ini gambarnya gimana?”
B : (dengan santainya) “Bego! Gitu aja ngga ngerti...”
E : “Oya, ya..”

Pertanyaan pancingan begitu pada dasarnya bukan bermaksud untuk merendahkan si penanya atas pertanyaannya, tetapi memancing balik si penanya untuk berpikir ulang atas apa yang ia tanyakan. Dengan begitu, orang-orang tidak akan bertanya hal-hal yang tidak perlu. Mengapa? Karena si penanya pun sebenarnya tahu jawaban atas apa yang ia tanyakan. Memang terdengarnya ngga enak. Percakapannya dibiarkan menggantung, diakhiri tanpa ba-bi-bu.
Dampaknya negatifnya, si pemancing bisa dicap sebagai orang yang jutek, males (ngejawab/menerangkan), menyebalkan, dsb. Positifnya, bikin si penanya jadi lebih kritis dalam bertanya.
Jadi? Selanjutnya terserah Anda!

Tuesday, April 10, 2007

write a blog

Gw cukup lama berlatih menulis blog. Perlu pengalaman dan pengetahuan… Kenapa?
Gw mencoba “mensurvey” blog-blog punya teman-teman yang memang dikelola cukup baik oleh penulisnya.

Blog-blog yang gw survey hanya berdasarkan hal-hal di bawah ini :
1. Penulis menyampaikan ceritanya dengan rapi. Ia pakai kata-kata yang jelas, mudah dibaca dan dimengerti.
2. Penulis bisa mengajak para pembaca untuk turut berinteraksi dengan tulisannya (persuasive). Ikut berpikir apa yang penulis pikirkan, ikut merasakan apa yang penulis rasakan, dsb.
3. Bisa ada maksud/makna yang mau disampaikan oleh penulis.
4. (tambahan) Penulis bisa memberikan sentuhan dalam desain halaman blognya. Ia berikan gambar/foto dan/atau tampilan tulisan sehingga pembaca santai saat membaca.

Akan tetapi, itu bukanlah suatu patokan baku. Setiap orang punya gaya menulisnya sendiri-sendiri. Yeah… Be yourself!

Singkatnya, dalam penulisan blog, gw punya kesimpulan :
1.penulis punya pengalaman yang memberikan sesuatu bagi orang lain. Entah luapan emosi, kegembiraan, apapunlah…
2. penulis punya pengetahuan seputar topic yang dibawakan. Jadi, ngga 100% sotoy abis.
3 penulis santai dalam penyampaian.
4. bisa mencerminkan “gue banget!”
5. akan lebih baik, penulis tidak hanya menceritakan kehidupannya yang serba ini atau itu, tetapi memberi tanggapan akan hal-hal yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Khusus untuk point ke-5, gw hanya menemukan beberapa blog saja yang seperti itu. Thumbs up 4 you!

>_as’07_<

Sunday, April 08, 2007

menjadi seorang blogger

Apa sih blog? Apa gunanya blog? Kenapa harus/perlu ngeblog?

Sejak awal kemunculannya, gw ngga terlalu antusias dengan yang namanya “blog”. Hanya selintas pikiran-pikiran seperti di atas yang muncul. Sampai beberapa tahun sejak blog ramai dibicarakan orang dan gw lebih bisa mengoperasikan internet, gw baru mulai cari tahu tentang blog.
Setelah mendapat info yang gw rasa cukup dan membaca blog-blog orang lain, gw pun mencoba bikin blog. Kesimpulan gw, blog=buku harian. Jadi, pertama kalinya ngeblog jelas malah sukses cerita ngalor ngidul.

Manulis blog perlu pengalaman dan pengetahuan. Kenapa pengalaman? Mungkin gw lihat ada orang-orang yang emang dari sononya jago ngeblog (langsung bikin di internet), tapi ada juga yang ngga (menulis dulu di tempat lain). Pengalaman adalah guru terbaik. Kenapa pengetahuan? Tentu penulis akan senang bukan bila tulisannya dibaca orang lain, bisa menjadi menfaat buat orang lain, tulisannya bisa benar-benar berbobot. Kalau tidak, bisa jadi malah penulis yang cenderungnya kamus bakal di go-blog-go-blogin sama pembaca.
Gw baca-baca blog orang lain sebagai referensi. Bagaimana caranya supaya blog lebih enak dibaca, blog bisa sedikit memberi manfaat bagi pembaca (tidak merasa dibuang-buang waktunya untuk membaca blog kita), dan yang penting bisa gw pakai buat mengekspresikan apa yang gw rasa lewat cerita.

Beberapa blog yang gw baca, mereka (para penulisnya) menggunakan blog untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan dalam kehidupannya. Tentu bukan hanya tentang kehidupan sehari-harinya, tapi tentang pemikiran-pemikirannya. Entah mau dibilang kamus atau tidak, itu hak mereka.

Gw mencoba terus belajar tentang blog. Tidak hanya diisi cuman cerita harian biasa, tapi lebih memberi pendapat yang bisa menjadi masukan buat orang lain. Tentunya feedback sebagai masukan buat penulis. Dan…bentuk komunitas baru.


"Takut akan kegagalan seharusnya tidak menjadi alasan untuk tidak mencoba sesuatu" (Frederick Smith)

>_as’07_<

pentingnya cuman buat cowok

Dua puluhan
Ia mungkin mulai meniti karir, mungkin juga mulai membangun sebuah keluarga. Akan tetapi sayang sekali, ia juga mulai menunjukkan tanda-tanda awal penuaan meskipun samar —- mungkin berupa menipisnya rambut. Otot melemah, dan ia lebih mudah kelelahan ketika berolahraga. Namun, ini belum saatnya untuk menggantungkan sepatu olahraga, karena laju pembakaran kalori dalam tubuhnya mulai menjadi lambat. Maka penting sekali baginya untuk memberikan perhatian pada diet dan olahraga.

Tiga puluhan
Garis-garis dan kerut-kerut lembut mulai muncul di sekitar mata dan mulut ketika kulit mulai kehilangan kelenturannya. Pendengaran mulai berkurang, terutama bila gemar mendengar musik dengan volume maksimum pada perangkat stereonya. Pengendalian kolesterol menjadi penting karena kadar LDL (low-density lipoprotein, jenis kolesterol berbahaya) terus menanjak, begitu pula batas rambut pada dahi. Sementara itu, kolesterol HDL (high-density lipoprotein) yang baik mulai berkurang. Selewat usia sekitar 35 tahun, uban mulai kelihatan, terutama pada kening, dan perut mulai membuncit.

Empat puluhan
Ho..ho .. usia baya mulai melebarkan sayap kekuasaannya. Kebotakan semakin nyata (paling tidak pada pria yang cenderung botak). Keriput-keriput muncut di tepi kelopak mata, juga di ujung-ujungnya, dan garis-garis lain mulai muncul. Ia mungkin membutuhkan kacamata plus atau fokus ganda ketika lensa mata mulai menjadi kaku. Akan tetapi sekarang a dapat berkonsentrasi pada hal-hal selain seks -- libido mulai berkurang karena kadar testosteron mubai menurun.

Lima puluhan
Ada beberapa kabar baik: Setelah beberapa dasawarsa terus meningkat, kadar kolesterol akhirnya berhenti meningkat. Kabar buruknya: Kekebalan tubuh menurun, membuatnya lebih mudah jatuh sakit dan terkena infeksi. Gusi mulai berubah secara mencolok, dan tanda-tanda awal masalah prostat mulai muncul, misalnya lemah atau macetnya aliran urin. Lemak di bawah rahang dan dagu semakin tampak dan seperti bertingkat.

Enam puluhan
Berat badannya mulai turun karena massa ototnya berkurang, akibatnya kulit menjadi kendur dan menggelayut, terutama di sekitar lengan dan bahu; kantung-kantung di bawah mata juga menjadi jelas. Pundak menyempit, dan warna rambut menjadi pudar. Untungnya, secara mental ia masih pria yang sama dengan 30 tahun lampau; kemampuan memecahkan masalahnya masih baik.

Tujuh puluhan
Kulitnya menjadi lebih kasar dan warnanya berubah secara tidak merata, umumnya berupa bercak-bercak di sana-sini. Hidung menjadi lebih mancung dan lebih lebar; cuping telinga menjadi lebih tebal. Tidurnya berkurang, yang berarti menjadi lebih mudah sakit, karena perbaikan dalam tubuh biasanya berlangsung selama orang tidur nyenyak. Daya ingatnya juga berkurang.Nah, sampai usia 75 tahun, kemampuan Anda dalam mmecahkan masalah masih kuat --terutama bila Anda tetap mengasah otak melalai kegiatan mengisi teka-teki silang, misalnya. Dan yang paling penting adalah tetap aktif baik secara mental maupun fisik.

From : Hoho

segelintir kehidupan di semester 1

Tetap saja subyektif..

Kuliah di arsitek memang susah-susah gampang buat gw. Pertama, gampangnya, karena ini jurusan terfavorit gw sejak smp dulu. Susahnya, bila bertemu dengan mata kuliah tertentu yang jumlah dosennya terbatas, bahkan sangat terbatas, untuk mengajar di bidang tersebut. Dan memang, gw lihat, mata kuliah seperti ini merupakan mata kuliah pemahaman. Artinya, mata kuliah tersebut bertujuan untuk mengatur, mengubah pemahaman seseorang atas hal tertentu. Kalau sudah paham, tentu akan mengubah pola pikir orang itu juga. Jadi, ya memang jelas kenapa jumlahnya sedikit, karena kualitas dosen buat ngajar yang ginian pun sedikit.

Untuk menghadapi proses yang kaya gitu jelas ngga gampang buat dosen. Si dosen harus punya cara jitu supaya anak didiknya bisa menangkap maksud dan tujuan si dosen. Si dosen juga harus punya cara jitu supaya kalau sudah paham, anak didiknya juga bisa punya pola pikir yang sudah benar. Supaya terus ke depannya si anak didik ngga salah lagi. Mungkin, salah satu caranya si dosen membuat suasana kuliahnya senyaman mungkin. Kalau nyaman, diharapkan anak didiknya juga bisa menerima kuliah dengan santai. Apalagi kalau anak2 didiknya juga respek sama dosen, pasti lebih gampang lagi.

Nah, buat gw itu bakal masalah. Dengan beberapa semester kedepan akan bertemu dengan mata kuliah serupa dengan dosen itu-itu aja. Biarpun kuliahnya memakai referensi cukup bergunung. Mau ngga mau, pola pikir gw akan terus “dipatok” dengan aturan yang sifatnya bakal cenderung subyektif. Kalau dia bilang jelek, ya jelek. Kalau dia bilang bagus, ya itu bagus. Walau si dosen mengatakan bahwa kuliahnya bukanlah doktrin atau semacamnya, ke-subyektif-an pasti ada. Dan subyektif nya itu pasti tetap ada. BIkin persaingannya tidak sehat. Yaa dosen cowo atau cw sama saja. Tapi tentu lebih banyak kasus pada yang cowo.

Contoh, pertama, bila si dosen sudah tidak bisa adil terhadap anak didiknya ( berdasarkan gender). Kalau seneng dengan yang cw, pasti yang cowo bakal susah dapet nilai. Begitu juga sebaliknya. Jadi, banyak anak2 yang udah belajar mati-matian dan mengerti tapi nilainya A (Ancur), dan ada anak2 yang (bisa dibilang) ngga belajar, ujiannya ngecap abis tanpa mengerti apa-apa tapi nilainya A (Applause).
Kedua, bila si dosen bilang gaya arsitektur A jelek, maka anak didiknya (cenderung) mengatakan gaya A pun jelek. Tetap memaksakan pendapat bahwa gaya arsitektur A bagus, maka nilai tentu bakal buruk, bagaimanapun alasannya.

Hal diatas sedikitnya sudah terbukti dari hasil UTS dan UAS semester 1… Sedikit terbukti, dimana beberapa teman (yang cowo) tampak uring-uringan dan sewot-sewot setelah melihat hasil yang keluar. Hasilnya…tampak lah ternyata bukan 1 dosen saja yang begitu. Salah satu bukti, IPK mahasiswa >3 jumlahnya kurang dari 10, tetapi IPK mahasiswi >3 jumlahnya 20-an. Sebaik dan sebagus apapun dosen ngga akan bisa menilai 100% obyektif.
*******Akhirnya, mau ngga mau, harus mengikuti dulu “resep” dosen yang ada, walau ngga suka. Geuleuh pisan… Apalagi bila udah ngga respek lagi ama dosennya.. Jadi susah semua…*******


“Kite rises with the wind, not because of it” (Confucius)

>_as’07_<

Merry Christmas 2015!