Saturday, March 24, 2007

SMA vs Kuliah, Kuliah vs SMA

SMA
Masa SMA dirasakan (hampir) semua orang adalah masa yang sangat menyenangkan. Menyenangkan mungkin karena banyak kisah-kisah yang menyenangkan dan menyedihkan dialami bersama atau karena banyak kisah cintanya juga (“kamus”). Masa-masanya kenal dengan teman-teman, memberikan sebutan-sebutan khusus untuk teman atau guru juga. Setiap orang yang gw tanya, hampir semuanya berkata sama betapa menyenangkannya masa SMA. Bisa jadi begitu, tapi ternyata ngga sepenuhnya buat gw. Selalu, gw pikir-pikir lagi, apa masa SMA semenyenangkan itu?

Gw berpikir begini karena ternyata memang apa yang gw alami sama dengan beberapa teman juga. Mereka tidak mengatakan langsung, tapi dari semua ceritanya, gw berkesimpulan bahwa dia pun mengalami hal yang cukup sama. Jadi, mungkin yang gw alami adalah kesenangan dan kebahagiaan semu? (who knows? God knows!). Akhirnya yang ada hanya muncul ketidaksenangan dengan lingkungan dahulu. Kasarnya, apa dulu gw salah pilih teman? Toh mau tidak mau pada akhirnya pertemanan pun merupakan sebuah pilihan. Masalah sesuai tidak sesuai. Ngga bisa disalahkan.
Kalaupun pada akhirnya mereka (orang-orang yang membuat tidak menyenangkan) sadar, sudah terlambat. Karena setelah apa yang dilihat semasa SMA dulu adalah berbeda dengan sekarang. Aslinya baru tampak sekarang. Sekali lagi, mau tidak mau dan suka tidak suka, gw juga orang-orang lain akan berpindah jalur mencari (katakanlah) kesenangan dan kebahagiaan yang “lebih sejati”.

Kuliah
Manusia harus bersosialisasi. Sosialisasi seperti tuntutan masyarakat supaya Anda eksis di masyarakat (tidak berlebihan tentu). Selama masa itu juga akan ada “seleksi alam” untuk teman-teman. Masa kuliah, gw akan dituntut untuk lebih bersosialisasi ketimbang SMA. Di kuliah,gw ketemu dengan orang-orang dari beda kota, agama, suku, latar belakang, kepribadian, karakter yang juuuaaaauuuuuhhhh lebih beragam dari SMA. Kalau dihadapkan hal yang begitu, gw akan cenderung membandingkan teman yang dulu dengan sekarang. Gw merasa lebih baik sekarang dari dulu.

Waktu berjalan dan orang-orang akan berubah. Ya berubah. Terserah orang mau bilang apa ke gw, tapi yang penting sadar. Kuliah sekarang pun, yang ada seleksi dengan teman-teman. Pilihan. “Ah, gw sih mau baik untuk semua orang”, ya silakan asal tidak jadi kacung buat orang lain. Gw setuju dengan pendapat salah seorang teman, D , “Jangan percaya dulu sepenuhnya”. Yap.

Ketika keadaan terlihat berubah, tidak bisa memaksakan kehendak agar orang lain berubah, berubahlah dulu dari diri sendiri. Pasti akan perlu waktu cukup lama bahkan sangat lama untuk mengembalikan kepercayaan teman-teman yang hilang akibat ulah sendiri.



“Orang hanya akan menjadi lebih baik bila melihat diri sendiri yang sebenarnya.” (Anton Chekov)

“Hanya orang hebat yang berani bersikap kritis pada musuh-musuhnya. Tetapi jauhlebih hebat jika ada orang yang punya keberanian serupa terhadap kawan-kawannya.” (J.K. Rowling)


>_as’07_<

pen-didik-an

Semakin ke sini, keadaan Indonesia tampak buruk atau sangat buruk. Padahal ngga harusnya kaya gini.
Semakin ke sini, bisa dibilang, Indonesia makin banyak yang miskin dan pengangguran. Kemungkinan terbesar gara-gara kualitas SDMnya Indonesia yang payah-payah. Kenapa payah? Mereka ngga punya pendidikan yang cukup tinggi. Kualitas rendahan, mau ngga mau jadi muncul persaingan ketat. Kalo udah gitu, pastilah terjadi hukum alam. Belum lagi ditambah jumlah penduduk Indonesia yang sangat-sangat banyak tapi ngga ketampung sama lapangan kerjanya. Alhasil, mereka sukses menganggur dan tidak berpenghasilan. Angka kemiskinan jadi naik.

Jelas pemerintah ngga serius menangani hal yang bginian. Mungkin memang ngga semua pejabat jelek, tapi mereka ngga kompeten di bidangnya. Dia hanya ingin kedudukan dan duit tanpa lihat akibat luasnya. Para pejabat jadi sibuk sendiri dengan urusan masing-masing antar pejabat. Lomba memperbanyak harta. Pendapatan Indonesia udah banyak tapi kemana semua?

Sekarang, akibatnya makin kelihatan lagi, di sekolah atau universitas. Kualitas SDM yang turun, membuat lembaga2 pendidikan mempermudah masuknya murid. Contohnya, di salah satu SMP swasta di Bandung, semua nilai siswa harus minimal 6,6 (untuk memenuhi standar kelulusan 6,5). Nilai itu bukan rata-rata melainkan nilai untuk setiap bab mata pelajaran. Bila tidak mencapai 6,6 maka harus diadakan remedial test atau remedial teaching (dengan gaji guru yang pas-pasan atau bahkan kurang, apa bisa?) Beban guru bertambah, murid juga harus dipaksakan bisa semua mata pelajaran termasuk yang dia tidak bakat (ex. Matematika).Sama halnya di uni, mereka menerima banyak mahasiswa baru tanpa melihat kapasitas. “Yang penting duit masuk dulu”, Kalau mahasiswa nya ngga bisa mengikuti kuliah, ya keluar saja. Koq begitu? Aneh tapi nyata keadaannya udah seperti itu. SDM-SDM yang kompeten hanya segelintir orang saja. Sisanya hanya menjadi SDM-SDM yang muncul karena jalannya aturan saja. Mengerikan. Pantas saja orang-orang pinter nan cerdas Indonesia maunya ke luar negeri saja. Harus ada perubahan.


“Baja terbaik harus dimasukkan ke api terpanas.” (Richard M. Nixon)

>_as’07_<

Monday, March 19, 2007

think twice

Segala hal yang terjadi dalam hidup manusia *biasa*-nya harus bisa diterima akal sehat. Tapi emang ada kalanya (malah banyak juga) yang terjadinya di luar akal sehat. Percaya ngga percaya tapi memang ada *sesuatu* itu.
Kadang banyak kejadian-kejadian yang bikin gw ketawa. Bukan gara-gara hal itu yang lucu, tapi (kenapa) orangnya yang punya pemikiran “di luar dugaan”. Ngga logis. Ya mudah-mudahan bukan ketawa yang menyinggung/merendahkan…
Meskipun dengan umurnya yang lebih tua, *harus*-nya bisa memberi saran/solusi yang lebih baik dari yang ia ucapkan. Secara logika juga ngga masuk. Sekilas atau diteliti ulang, ucapannya hanya bikin orang berpikir dalam kebingungan “koq bisa ya?” (mungkin saking herannya).

Contoh, gw yang umur 19 pastilah *harus* punya solusi yang lebih baik dari anak umur katakanlah <15. Ekstrimnya, misalnya gw disuruh memotong 100 tanaman, gw akan bilang (ke orang lain), “Siapkan 100 gunting!”. Lalu, “Siapkan juga 100 orang buat motong.” Hey..! Yang bener aja! Dikasih ati minta ampela? Anak umur 15-an juga pasti berpikir, “Kenapa harus 100 gunting dan 100 pekerja?”. Ya begitulah adanya. Akan lebih baik kalau dia berpikir ulang dulu akan apa yang diucapkan. Karena setelah omongan itu keluar dan dicerna, orang akan berpikir juga tentang latar belakang/hal-hal yang bersinggungan dengannya. Seperti contoh di atas, pasti orang berpikir, “Siapa dia? Dari mana asalnya? Sekolah/kuliah di mana?”. Dan yang “rusak” bukan dia saja, tapi semua orang dan hal-hal yang berkaitan dengannya akan ikut dipertanyakan juga, kan?.Yaa semoga jadi pengalaman, jangan diulangi lagi ya.. Malu dong sama junior.

“Seseorang tidak harus memercayai semua yang didengarnya” (Cicero)

>_as’07_<

Thursday, March 15, 2007

sekolah?!

Sekolah sebagai salah satu (atau satu-satunya) jalur pendidikan formal di Indonesia ato mungkin di luar negeri juga. Apa perlu sekolah? Apa sih gunanya? Gw coba liat satu-satu…
Sekolah berfungsi sebagai tempat pendidikan, gw dapet pelajaran untuk menambah wawasan dari yang ngga tau jadi tau (biasalah ya). Gw rasa untuk TK sampai SD maksimal SMP bolehlah… Banyak yang bisa dipelajari, belajar sosialisasi, ya banyaklah (gw akui itu). Gw pikir sekolah dijenjang mungkin untuk menyesuaikan perkembangan kemampuan otak juga. Makin tambah umur, proses otaknya makin cepet (mudah2an, soalnya sampai jd mahasiswa aja masih ada yang lemot).

Hanya untuk SMA, untuk beberapa orang yang tahu akan “tujuan hidup” selanjutnya, kenapa harus mengikuti pendidikan umum juga. Katakanlah, si A mau masuk jurusan A di universitas U. Jadi kalau udah tau, mending 3 tahun SMA diganti aja biar belajar dasar2 pelajaran yang memang dibutuhkan pas kuliah nanti. Buat apa belajar semuanya coba? Ngga guna. Ngabisin uang. Ngabisin waktu. Ngabisin memori otak. Akan lebih baik begitu kan? Egois? Ah ngga juga… Bisa kan cari tau lebih dulu (menentukan pilihan) mau masuk jurusan apa kuliah nanti.
SMA asik buat sosialisasi, main, segalanya tentang teman dan sahabat. Ya setuju. Tapi ngga dengan pelajarannya. Terlalu.
Yaa setidaknya lebih lega bisa diungkapkan. Toh gw udah lewat masa itu… Moment-momentnya memang tidak akan terlupakan..

“School are supposed to be able to help us express ourselves. Without knowledge of music, we are being deprived of a uniqe form of communication” (Kenny Byrd)

>_as’07_<

Wednesday, March 14, 2007

dewasa itu pilihan

Sekarang ini, kuliah sudah sampai UTS semester 2. Benar-benar tidak terasa sudah selama itu dan secepat itu. Padahal rasanya baru kamaren ini masuk kuliah sambil diospek. Rasanya cukup mengherankan lihat teman-teman yang masih bisanya mengeluh terus kalau dapet tugas-tugas kuliah. Dikit-dikit ngeluh, dikit-dikit ngeluh. Memangnya separah itu ya? Malah harusnya bersyukur kalo tugasnya udah lebih ringan dari tahun lalu. Arsitek memang kuliah yang cukup sarat dengan tugas-tugasnya. Ya mau bagaimana lagi, toh kita bisa juga karena latihan terus-menerus. Emangnya tidak ada hal lain yang lebih pantas diomongin? Ada kalanya saya juga merasa terbebani dengan tugas yang numpuk kaya ngga ada habisnya, tapi apa harus terus-terusan? Waktu kan jalan terus kalau tidak dipakai sebaik mungkin yang ada malah saya yang ketinggalan sendirian. Berdiam dalam ketertinggalan dan memandang kagum teman-teman yang berhasil dan sukses? Hiiiiiyyyy…..

Saya bilang kuliah di sini saingannya ketat. Banyak orang yang better. Mereka punya kelebihan-kelebihan tersendiri. Macem-macem. Bayangan saya dulu, masuk arsitek berarti ketemu dengan orang-orang yang memang punya pandangan2/pemikiran2 hebat (karena harus memikirkan dan memberikan solusi2 yang cepat dan tepat. Memang begitu). Alhasil, sejak masuk, bertemu dan berkenalan, bahkan sampai sekarang, saya rasa hanya beberapa orang (tidak lebih dari 5) saja yang benar-benar punya daya pikir hebat (mungkin nantinya bisa lebih hebat/kritis lagi) atau saya yang memang belum tahu atau dianya yang ‘pengecut’ tidak mau show off dari sekarang? Kenapa tidak, justru bibit2 kaya gitu kan yang dicari?
Saya jadi agak ketakutan juga dengan ucapan seorang dosen yang mengatakan biro-biro arsitek sekrang ketakutan bila mempekerjakan orang dari angkatan 2000 ke atas. Beliau bilang kalau ternyata angkatan2 itu terlalu banyak disuapin. Ya tidak salah juga. Di dunia kerja persaingannya bakal lebih ketat lagi. Arsitek kan harus punya banyak pengalaman?


Tiap –tiap orang dalam hidup pasti selalu berhadapan dengan pilihan. Bahkan hidup itu sendiri pilihan. Ya atau tidak. Maju atau mundur. Setiap pilihan punya resiko masing-masing. Siap-tidak-siap harus siap. Kalau tidak berani ambil resiko, tidak akan maju. Biarpun harus ketemu kegagalan, at least udah ambil tindakan untuk mau maju. Sebagai contoh, katakanlah saya masuk UnPar juga resiko perjalanan jauh, masuk jurusan arsitek resiko dengan tugas, jarang2 main, begadang. Harus berani ambil resikonya toh? Tiap tindakan juga ada resikonya.
Sekarang udah kuliah semester 2, bo. Ngga kaya semester 1 ato SMA dulu lagi. Terserah apa mau maju terus atau hanya berdiam diri.

“The reason I know so much is because I have made so many mistake.” (R. Buckminster Fuller)

"Sukses seringkali datang pada mereka yang berani bertindak dan jarang menghampiri mereka yang tidak berani mengambil konsekuensi." (Jawaharlal Nehru)


>_as’07_<

Merry Christmas 2015!