Friday, October 15, 2010

Belajar dari yang (lebih) tua...

...yang (merasa) muda dan yang (merasa) tua...

Pertama kali masuk dunia kampus, saya bergabung dengan Arjau, salah satu organisasi di sana yang melakukan penelitian arsitektur tradisional. Namanya anggota yang muda, saya bersama teman yang lain belajar dari yang mudah dilihat. Caranya belajar dari senior yang udah masuk duluan atau mereka yang sekarang berdiri di depan memberikan pelajaran.

Maklum, untuk masuk dan bergabung dengan Arjau, kami diberitahu sebelumnya bahwa anak2 yang baru akan diberi materi pembelajaran lebih dulu. Semacam teori dan latihan sebelum akhirnya terjun ke lapangan dan bergabung diakui sebagai anggota. Perlu penyamarataan pengetahuan katanya. Masuk akal menurut saya.

Materi ini seringkali diajari oleh senior atau angkatan tahun sebelumnya. Kadang, bahkan selalu saya bertanya pada diri sendiri : Apakah orang yang mengajar saya ini memang orang yang tepat di bidangnya? Apakah mereka orang yang tepat?

Rasa pengen tahu ini tidak cuman untuk saya aja. Ternyata, setelah beberapa waktu share2 dan cerita2 sesama anggota baru, ada yang punya pengalaman yang sama. Jadi, apa yang kami lakukan? Lihat background orang yang ada di depan kami!

Tentu agak susah untuk mengetahui lebih banyak di waktu pertama kali bertemu. Susah karena ngga semua orang tampil who you are, tapi jaim2an. Mungkin orang-orang yang sering ketemu orang, bisa sedikit menilai dari cara berbicara dan tampilan.

Satu yang terpikir waktu itu adalah mengecek prestasi akademisnya! Setiap ali perkenalan, senior akan menyebutkan nama, angkatan, dan NPM nya. Itu yang kami perlu! Kampus memfasilitasi melihat perkembangan nilai dari komputer bersama dengan memasukkan NPM. Yaa saya cek lah…(maaf kami cek lah ramai2, satu2 kami cek-in..).

Saya rasa, di situlah pertama kalinya muncul “penilaian” dengan senior. Karena, jadi berpikir lagi. Bagaimana bisa dia mengatakan hal ini itu di depan kami padahal nilai2 akademisnya saja tidak membuktikan begitu. Bagaimana kami bisa percaya? Begitu juga kebalikannya dengan yang terbukti… Kami semakin yakin bahwa orang itu ternyata memang mampu. Kata-kata dan teori tentu perlu, tapi perlu bukti lebih konkret dari sekadar ocehan.

Simpel…

Karena dirasa cukup bermanfaat maka dipraktekkan juga di kejadian2 serupa…

Setahun kemudian, giliran angkatan yang baru untuk melatih anggota yang mau masuk. Saya berpikir bahwa pasti mereka pun melakukan hal yang sama kepada kami. Ternyata, memang benar mereka juga melakukan hal yang sama.

Pelajaran yang saya ambil dari kejadian ini adalah… Buktikan dulu dalam perilaku sehari2 maka orang akan percaya yang lainnya.

GB!

Merry Christmas 2015!