Saturday, June 25, 2011

Kuliah lagi atau kerja? _2

Student Lounge kampus, istirahat di selang kuliah...

Salah satu masukan dari kakak sendiri (share pengalamannya ttg pendidikan di eropa) kepada saya adalah : kalau sama sekali tidak berminat terjun ke dunia akademis, silakan kerja saja. Berusaha yang terbaik dan menjadi yang terbaik sebagai profesional.

“…kalau sama sekali tidak berminat terjun ke dunia akademis, silakan kerja saja…”
Sebelumnya saudara saya pernah bilang hal itu. Kemudian, orang2 mulai bercerita tentang hal itu ketika dalam sebuah perbincangan di waktu istirahat selang kuliah. Obrolan ini yang saya coba share kenapa bisa sampai ke kesimpulan itu…

Kenapa ‘terjun ke akademis’?
Wah ngambil S2, mau jadi dosen? Kenapa orang2 yang ngambil S2/ magister/master (pasca sarjana –hingga S3 atau post-doc) seringkali dikaitkan dengan pekerjaan di bidang akademis. Penjelasan ini tampaknya cukup logis untuk dicerna. =)
Akademi/sekolah/universitas adalah sebuah institusi. Di sanalah orang belajar untuk memahami dan mempelajari ilmu secara institusional dan ilmiah (bisa dipertanggungjawabkan ilmunya). Oleh karena itu diperlukan tenaga yang ‘pengalaman’ juga di bidang akademis. Caranya, ya yang ngajar jelas (harus) ‘berpendidikan’ lebih tinggi.

Pertama, kenapa orang-orang mau sekolah lagi (pasca sarjana)? Pasti ada tujuannya, katakanlah untuk mendapat pemahaman atau pengertian yang lebih dalam tentang ilmu yang dipelajarinya di S1 atau untuk menambah ilmu lainnya. Hampir tidak mungkin orang sekolah lagi hanya untuk kesenang-senangan saja, apalagi hanya untuk sekedar pamer gelar (terlalu ngga masuk akal buat saya). Saya katakan ngga masuk akal karena jelas buang-buang uang dan waktu (hanya dipakai untuk kesenangan saja). Seseorang melakukan sesuatu pasti ada tujuannya atau ketahui tujuannya supaya tahu langkah-langkah yang harus dilakukan.

Dalam kasus di Indonesia, pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa para staff pengajar di program studi pasca sarjana (S2/S3) harus minimal S3. Mengapa? Makudnya, supaya para pengajar bisa memberi pengetahuannya (yang lebih luas dari mahasiswanya) secara akademik ditambah dengan pengalamannya di dunia kerja. ‘Masalah’ muncul bila ternyata dosen setingkat dengan mahasiswa (mahasiswa S2, dosen pun ‘baru’ lulusan S2) tetapi dosen kalah pengalaman dengan mahasiswanya. Kuliah pasca sarjana tidak bisa ditebak siapa mahasiswanya. Jika di S1 bisa dikatakan rentang usianya sekitar 19-20 tahunan, maka dalam pasca sarjana rentang usianya bisa dari 23-40 tahunan lebih. Ngga aneh kalo dosen (yang relatif baru dan muda) pun bisa kalah pengalaman sama mahasiswanya…ato mahasiswinya.
Kalau memang sungguh-sungguh mau ke akademis, ngga ada salahnya untuk terus lanjut hingga Phd/Doktor/post-doct…

Pasca Sarjana tidak bisa kerja?
Bukan tidak bisa kerja. Hanya saja,di Indonesia terbilang cukup jarang ada biro/perusahaan yang mau mempekerjakan orang dengan lulusan S2/S3. Bayarannya terlalu mahal dibandingkan membayar lulusan (fresh grad) S1. Perbandingan itu ada beberapa hal lainnya :
S1 : fresh grad, semangat dunia kerjanya dimanfaatkan untuk kerja keras dengan bayaran (relatif) murah. Karena minim pengalaman, biasanya lebih menurut pada atasannya dan mudah diatur (dalam pengertian positif).
S2 : Ada dua tipe orang di sini. Pertama, yang setelah lulus S1 langsung S2 dan kedua, sudah punya pengalaman kerja baru S2. Keduanya dianggap memiliki bayaran lebih mahal dari lulusan S1 dan umumnya si S2 pun tidak mau dibayar selevel S1.

Dalam S2 kasus I, bayarannya dianggap tidak seimbang dengan pengalamannya di dunia kerja. Ngerti? Kenapa gw harus nge-hire anak S2 (yang bayarannya lebih mahal) padahal pengalamannya sama saja dengan fresh grad S1? (kecuali ada pengalaman magang2 yang cukup)

Kasus II, jika terlalu berpengalaman di dunia kerja, ada saja owner perusahaan yang malah takut dikerjain (kalah pengalaman) pegawainya. Yang satu ini tergantung berapa lama terjun ke dunia kerjanya juga.
Beberapa solusinya, ya kerja sendiri, bikin perusahaan atau biro sendiri. Benar-benar sendiri atau kerja sama dengan teman.

Ada apa dengan ‘kerja saja…’?
Ya, hal yang satu ini tampaknya sudah cukup jelas. Setelah lulus, langsung melamar ke tempat-tempat kerja yang diinginkan. Tidak hanya diinginkan, tapi akan lebih baik kalau bisa sambil belajar banyak di tempat kerja. Bagaimanapun juga belajar terjun langsung memang mendapat pengalaman lebih banyak. Banyak hal yang memang ngga diterima pas kuliah. Dunia kampus/kuliah umumnya memberi/mentransfer ilmu yang idealisnya. Bagaimana harus begini dan bagaimana harus begitu. Bagaimana kalau begini dan begitu. Hal satu ini bagus buat membentuk kerangka pikir dasar mahasiswa. Di tempat kerjanya, barulah idealismenya diterapkan. Kebentur sana-sini, baru belajar lagi bagaimana ‘mengimbangi’ antara idealisme dengan kenyataannya.

Ngga harus jadi profesor dulu buat jadi profesional. Dalam pengertian saya, profesional sama saja dengan orang yang ahli di bidang profesinya dan profesor ‘hanya’ gelar yang diberikan kepada seseorang atas ‘keahliannya’ di bidang tertentu (secara akademik – meskipun ia harus tahu juga bagaimana keadaan di lapangan/non akademik). Seseorang bisa jadi profesional juga dengan memiliki pengalaman kerja di lapangan. Jadi, misalnya saja seorang arsitek, ia bisa profesional (ahli) di bidang akademik atau di lapangan.


Saya menemukan lagi 2 alasan kenapa orang-orang yang berumur masuk kuliah (S2/S3) lagi. Padahal secara pengalaman kerja mereka tergolong sudah profesional. Pertama, mungkin ini paling sering terjadi adalah karena ingin mengajar jadi dosen tapi terbentur urusan administrasi kampus dan aturan pemerintah. Padahal secara ilmu/pengalaman mereka seharusnya bisa mengajar. Kedua, mereka ingin ‘meng-ilmiah-kan’ pengalaman yang telah mereka dapat selama terjun di dunia kerja (saya tak tahu apa istilah ini cukup tepat). Ketika mengikuti kuliah, mereka sudah paham apa yang diajarkan, tapi sekarang mereka mengenal pengalaman mereka secara ilmiah. Berbeda dengan mahasiswa fresh-grad yang langsung kuliah. Bahan-bahan kuliah tersebut memang bahan yang benar-benar baru untuk dipelajari.

Cerita di atas belum tentu sepenuhnya benar karena ini hanya pendapat-pendapat beberapa orang dalam suatu obrolan di selang kuliah…tapi semoga bisa membantu…=)
God Bless!

Merry Christmas 2015!