Lift Up the Standard
“When the enemy comes in like a
flood, the Spirit of the LORD will lift up a standard”
Yes 59 : 19
Selama belajar studio di
arsitektur, salah satu omongan yang saya ingat dari dosen pembimbing adalah selalu
menyiapkan buku standar. Bukan standar maksudnya rata-rata, buku yang
biasa-biasa. Akan tetapi, lebih tepatnya buku pegangan mengenai informasi
dasar/ standar tertentu yang dipakai untuk mendesain. Sebenarnya, dosen
‘memaksa’ membaca buku-buku ini supaya mahasiswa belajar untuk melakukan proses
desain yang lebih bertanggung jawab, bisa dipakai. Ngga asal gambar.
Bersyukur ada orang-orang yang mau
menyusun itu semua. Saya ngga tahu bagaimana mereka/ orang-orang melakukan
risetnya, tapi waktu mahasiswa dulu itu sudah menjadi buku. Saya tinggal
melihat daftar isi, buka halaman yang dituju, mencari dan memakai data yang
saya perlukan. Mudah.
Desain yang bagus, tentu membuat
dosen tidak segan-segan memberi nilai bagus. Bagaimana melihat bagus atau
tidaknya? Yaa seberapa banyak mahasiswa melakukan riset untuk desainnya. Salah
satunya apakah desainnya sudah sesuai dengan standar atau tidak.
Apa yang ramai diberitakan media
belakangan sebenarnya kejadian yang mirip. Urusannya ngga jauh dari yang
namanya standar. Ada dua berita yang membuat saya tertarik untuk sedikit
analisis.
Pasar Tradisional vs Pasar Modern
Mengapa yang satu lebih ramai (baca
laku) dibandingkan yang lain. Mengapa pasar modern/supermarket bisa
mendatangkan pengunjung lebih banyak padahal harganya lebih mahal dibandingkan
pasar tradisional?
Peraturan dan sanksi tidak
membereskan masalah. Ketika pihak otoritas/pemerintah hanya membuat peraturan
yang ‘membatasi’ pihak pasar modern, maka mereka akan selalu mencari cara dan
celah untuk melawan aturan. Di sisi lain, peraturan akan membuat pihak yang
lebih lemah, pasar tradisional, menjadi lebih cemen dan manja. Karena mereka
akan berpikir selalu ada yang membantu.
Saya yakin pemerintah sudah
melakukan studi ini. Masalahnya bukan pada harga, tempat yang berAC atau tidak,
ada WiFinya atau tidak, atau segudang fasilitasnya. Utamanya, bagaimana
menyediakan pelayanan yang baik buat pengunjung. Orangnya.
Kalau orang sudah memutuskan mau
melayani orang lain dengan 100%, maka ia akan mencari cara bagaimana membuat
orang lain merasa nyaman, tenang, dan aman di mana dia berada. Dari sanalah
mulai muncul solusi seperti ATM, AC, tempat yang bersih, tidak bau, sehingga
orang merasa nyaman berada di dalamnya.
Pengunjung memilih pasar modern
dengan harga yang lebih mahal dengan pertimbangan membayar kenyamanan yang
diberikan supermarket. Rasanya hampir mirip dengan cerita Angkot dan Taksi.
Pasar tradisional bisa mengejar
kualitas itu dengan lebih memerhatikan standar kenyamanan yang dibutuhkan
pengunjung. Mungkin belum tentu memerlukan WiFi, tapi bisa fokus pada
standar/faktor kenyamann yang utama, psikologi pengunjung. Kesehatan,
keselamatan, kenyamanan, keamanan.
Bagaimana orang mau berkunjung ke
pasar tradisional bila cerita yang beredar sering ada kecopetan, bau ngga
sedap, sampah, becek, harus panas berdesak-desakan. Contoh kasus perbaikan
pasar di Solo dan Jakarta, saya lihat upaya bagus pemerintah untuk menaikkan
standar lokal. Ini juga merupakan kesempatan bagus buat para pedagang
lokal/kecil. Orang-orang ini perlu diajar dan dilatih bersaing setelah sekian
lama dimanjakan oleh banyaknya aturan pemerintah.
Apakah mereka mau diajar dan
dilatih atau memilih tetap menjadi manja?
Pegawai vs Outsourcing
Kasus kedua, buruh yang menuntut
dihapuskannya outsourcing. Sama dengan kasus di atas. Bila pemerintah
memberikan aturan untuk melarang outsourcing, maka akan membuat buruh di
Indonesia semakin manja. Para buruh yang meminta upahnya menjadi 3,7 juta,
setelah sebelumnya dinaikkan menjadi 2,2 juta, bisa jadi adalah salah satu
bukti bahwa orang di Indonesia tidak bisa di-baik-in.
Solusi utama yang perlu dicari
adalah apa yang menyebabkan perusahaan-perusahaan menggunakan sistem
outsourcing dibandingkan mengambil pegawai sendiri?
Jawabannya saya lihat sendiri. Bisa
jadi, ini menjadi salah satu alasan yang sama. Para pegawai ini ngga punya
standar integritas yang cukup bisa dipercaya. Mungkin ngga semua buruh/pegawai
seperti ini. Tapi pepatah Indonesia sendiri bilang “ Karena nila setitik, rusak
susu sebelanga.” Gara-gara ada orang-orang yang ngga benar, semua kena batunya.
Seberapa sering pegawainya sendiri
yang menjadi ‘maling dalam rumah’. Seberapa sering pegawai tersebut
‘menghilang’ ketika dibutuhkan, dsb. Sistem outsourcing memudahkan
perusahaan-perusahaan tadi untuk mengontrol kerja. Bila ada laporan tidak puas,
tinggal melapor ke perusahaan jasa outsourcingnya.
Jika pemerintah sudah mau
memfasilitasi, apakah pihak buruh ada upaya untuk memperbaiki standarnya. Bagaimana
pemilik perusahaan mau mempekerjakan karyawannya sendiri kalau kerjaannya hanya
berdemo. Waktu berdemo pabrik/perusahaan tidak bisa beroperasi dan justru
mengalami kerugian. Padahal pemiliki perusahaan perlu pabriknya beroperasi
supaya bisa tetap menggaji karyawannya.
Solusinya sebenarnya sudah ada. Sambil
berjalan, para buruh harus mau diajar dan diberi pengertian untuk menabung dan
simpan uangnya. Kalau masih keukeuh
merasa kekecilan, harusnya mulai berpikir untuk membuka usaha.
Ada kondisi sosial di masyarakat
juga yang agak keliru dan disalahartikan. “Banyak anak, banyak rejeki”. Iyah,
nanti kalau nanti anaknya sudah besar dan jadi-jadi. Tapi sebelum itu kan
harus proses dulu. Kondisi kawin-cerai, kawin siri, poligami, memerlukan banyak
tuntutan ekonomi!
Gimana usaha para buruh/pekerja supaya para pengusaha mau mengembalikan rasa percayanya pada staff sendiri daripada ke pihak outsourcing?
"Kepercayaan itu sangat susah didapat tapi sangat mudah hilang"
Agak keluar dari topik, tapi contoh kasus cerita pengemis di Bandung, heran juga kalau pemerintah sudah ada upaya untuk memberi hati, tapi yang dikasih minta jantung.
Pray for Indonesia, Jesus Bless
Indonesia!