Ada suatu yang menurut saya cukup menarik untuk dibagikan dan untuk dilakukan.
Entah orang menyebutnya apa, tapi saya sendiri menyebutnya “pertanyaan pancingan”. Pertanyaan ini dilontarkan sebelum kita menjawab pertanyaan seseorang. Pertanyaan-pertanyaan ini sadar tidak sadar selalu keluar dari mulut dalam percakapan sehari-hari.
Lebih mudahnya, saya coba gunakan contoh sbb:
A : “Z, sebenarnya warna merah termasuk warna primer atau sekunder?”
Z : "(pertanyaan pancingan) Yang termasuk warna primer apa aja?”
A : “Biru, Kuning, Merah” (Si A mulai sadar atas pertanyaannya)
Z : (terdiam, tersenyum atau malah ngakak melihat kebodohan si A)
A : “O, iya,ya” (dalam hati, sadar)
Atau (yang males jawab)
M : “Hei, I, gambar arsitektural dirender ngga sih?”
I : “Biasanya gimana?”
M : “Dirender”
I : “Ya udah...”
M : “...”
Atau (yang kasar, malah digoblok-goblokin)
E : “B, yang ini gambarnya gimana?”
B : (dengan santainya) “Bego! Gitu aja ngga ngerti...”
E : “Oya, ya..”
Pertanyaan pancingan begitu pada dasarnya bukan bermaksud untuk merendahkan si penanya atas pertanyaannya, tetapi memancing balik si penanya untuk berpikir ulang atas apa yang ia tanyakan. Dengan begitu, orang-orang tidak akan bertanya hal-hal yang tidak perlu. Mengapa? Karena si penanya pun sebenarnya tahu jawaban atas apa yang ia tanyakan. Memang terdengarnya ngga enak. Percakapannya dibiarkan menggantung, diakhiri tanpa ba-bi-bu.
Dampaknya negatifnya, si pemancing bisa dicap sebagai orang yang jutek, males (ngejawab/menerangkan), menyebalkan, dsb. Positifnya, bikin si penanya jadi lebih kritis dalam bertanya.
Jadi? Selanjutnya terserah Anda!