3 faktor : Dosen,
Mahasiswa, dan Adm
Perpustakaan Pascasarjana UNPAR
Setelah
mengikuti dan mengalami sendiri, saya ikut) menyimpulkan tentang kualitas
lulusan sistem pendidikan, khususnya dunia kuliah. Hanya dalam hal ini, saya
tulis berdasarkan pengalaman pribadi dan obrolan-obrolan dengan teman-teman,
dengan harapan akan berguna buat orang lain.
Kualitas
lulusan suatu universitas dipengaruhi oleh 3 faktor. Lebih fokus, kualitas ini
berkaitan dengan kualitas tulisan penelitian mahasiswa, baik dalam penulisan
skripsi dan tesis (saya belum mengalami disertasi). Faktor pertama, mahasiswa
yang bersangkutan; kedua, dosen pembimbing; tiga, sistem administrasi kampus.
Pertama : Mahasiswa
Saya
pernah bilang sebelumnya bahwa kuliah memang bukan paksaan (terlebih untuk
kuliah pascasarjana atau S2/S3). Akan lebih baik bila kuliah dilakukan
berdasarkan keinginan pribadi atas dasar kebutuhan untuk menuntut ilmu. At
least, dalam tahap pertama masuk kuliah, memilih sesuai jurusan yang diminati.
Bukan masuk satu jurusan karena ikut-ikutan teman. Mahasiswa yang merasa nyaman
dengan jurusannya akan lebih santai untuk mengikuti kuliah-kuliah dsb.
Dosen
pembimbing saya di S1, Pak BW pernah berkata bahwa penulisan penelitian yang
bagus dimulai dari concern mahasiswa akan hal-hal/isu/permasalahan yang terjadi
di sekitarnya (tentu sesuai dengan jurusan kuliahnya masing-masing.) Jadi, isu
yang mau diangkat/dibahas memang sudah ada dan barulah mahasiswa tersebut
mencari obyek-obyek penelitian yang sesuai isu tadi. Kualitas tulisannya bisa
bertambah lebih baik tergantung kreativitas mahasiswa dalam mengangkat
isu/topiknya, menetapkan sudut pandang yang jelas terhadap permasalahan, juga
memilih literatur-literatur pendukung yang baik.
Menurutnya,
penelitian dan penulisan akan lebih sulit bila dimulai dari pemilihan obyek
sehingga mahasiswa cenderung mencari-cari permasalahan yang ada di obyek
tersebut. Hasil tulisannya bisa diprediksi menjadi dua : menjelek-jelekan atau
mengagung-agungkan obyek yang diteliti. Tulisan yang dibuat tidak akan
obyektif. Ia menyebutnya tulisan yang ber-euphoria. Ini yang saya lakukan dulu.
Setahun
kemudian, saya baru mengerti apa-apa saja maksud dari kata-kata Pa BW. Jauh
lebih mudah bagi saya untuk memulai dari pemilihan isu yang saya anggap menarik
untuk dibahas. Pencarian literatur dan obyek studi cenderung lebih terarah dan
tidak membabi buta. (Lagi-lagi, tergantung seberapa maksimal mahasiswa untuk menyusun isu/topiknya supaya lebih matang, sering tidaknya ke perpustakaan dan seberapa efektif tiap kunjungan ke perpus).Terima kasih, Pa BW.
Secara
garis besar, saya bagi penelitian dalam beberapa tahap :
Tahap
pencarian, penentuan topik bahasan dan literatur. Proses penelitian dan pengumpulan
data di lapangan lalu
proses penyusunan/penulisan.
Kedua : Dosen
Pembimbing (juga dosen penguji)
Pada
mulanya, mahasiswa yang hendak menulis punya segudang ide atau concern yang
banyak untuk dibahas. Peran dosen menjadi penting untuk mengarahkan mahasiswa
memilih topik bahasan yang proporsional dan bisa diselesaikan dalam jangka
waktu tertentu. Perlu diingat bahwa penulisan skripsi/tesis bukanlah proyek
seumur hidup.
Setidaknya
dosen yang baik punya 2 kapasitas : Bisa mengarahkan mahasiswa lewat
pengalamannya sehingga bahasannya tidak terlampau sedikit juga terlampau banyak.
Bagaimanapun juga baik/tidaknya tulisan akan kembali kepada pembimbingnya.
Terlalu sempit bisa dianggap ilmunya sedikit, terlalu luas bisa dianggap tidak
bisa merumuskan masalah. Serba salah. Di sini juga, peran dosen untuk sharing
ilmu dan pengarahan tentang literatur.
Saya dengan bahwa bagian ini
seringkali disalahartikan oleh mahasiswa. Dianggapnya dosenlah yang
berkewajiban untuk menentukan literatur. Padahal sama sekali tidak. Seperti
namanya, dosen membantu dalam pembimbingan bila literatur yang TELAH dipiliha
mahasiswa terlampau umum, (terbitan) terlalu lama sehingga perlu literatur baru
yang lebih sesuai jaman. Sederhananya, untuk penelitian tahun 2012 akankah
tetap menggunakan buku tahun 1920? Apakah tidak ada buku dengan topik serupa
yang diterbitkan di tahun yang lebih baru? Pasti ada.
Kedua,
jumlah pertemuan tatap muka dengan dosen pembimbing. 1-2 kali per minggu cukup
ideal untuk menjaga bahasan mahasiswa tetap keep on track dan tune-in
semangatnya. Tidak aneh jika dosen yang suka memberi kata-kata semangat kepada
mahasiswanya seringkali antrian bimbingannya banyak. Mahasiswa memang perlu di-charge
energinya. Sama seperti joki yang menunggang kuda. Ia hanya perlu menarik
sedikit kekang ke kanan atau ke kiri supaya kudanya keep on track ke garis
finish.
Ketiga : Sistem
Administrasi Universitas aka Tata Usaha
Saya
setuju dengan istilah kalau administrasi/TU kampus adalah asisten mahasiswa
untuk urusan administrasi.
S1
cukup berbeda dengan S2. Saya merasakan bahwa penulisan tesis lebih banyak
‘memeras otak dan keringat’. Setiap tahap yang dilalui mahasiswa menuntut
perhatian dan konsentrasi lebih banyak. Perlu perhatian khusus dari segi tenaga
dan waktu. Dalam masa ini bisa dibilang saya pun seperti ‘absen’ dari rumah,
meskipun hampir selalu seharian di rumah.
Di
sinilah terlihat bagus tidaknya administrasi kampus, bagaimana setiap staff
administrasi (seharusnya) bekerja bersama untuk memberikan informasi yang sama
dan seimbang. Lebih jauh lagi, bisa memberikan saran untuk mahasiswa.
Apakah mahasiswa harus disibukkan
dengan hal-hal ‘tidak penting’ ketika sebagian besar waktunya dipakai untuk
mengejar target?
Saat
awal semester pra-tesis, saya bertemu dengan salah seorang staff TU, sebut saja
Ibu L, sedikit memberi saran kepada saya untuk melunasi pembayaran kuliah satu
semester sekaligus. Pembayaran tidak usah mengikuti jadwal/kalender akademik
kampus yang dibagi ke beberapa tahap. Memang jadi terlihat besar tapi alasannya
masuk akal, supaya saya tidak perlu direpotkan oleh urusan tetek-bengek
administrasi. Lebih lanjut, beliau mengingatkan lagi tentang tanggal-tanggal
penting univ. dan berkas-berkas yang perlu dipersiapkan di depan. Bagaimana
mahasiswa tidak betah bila kampusnya punya staff TU seperti itu?
She is not break the rule, just bend
the rule…
Sayangnya,
karena kecakapanya, beliau ditarik ke ‘kantor’ pusat banyak mahasiswa merasa
kehilangan. Pengganti yang baru tidak bisa mengimbangi kapasitasnya.
Kombinasi dan kerja sama ketiga pihak
akan menentukan apakah tulisan yang dihasilkan berkualitas atau kurang.