reblogged : http://myyearatvoa.tumblr.com/post/68153864689/paradoks-budaya-timur-amerika
Sebagai orang Indonesia, saya sangat akrab mendengar betapa kita
dinilai sebagai bangsa yang ramah dan penuh senyum. Persepsi asing yang
telah mengkristal, yang tanpa disadari kita akui kebenarannya.
Di sisi lain, telah tertanam pula sejak kecil bahwa bule atau ‘orang barat’ adalah manusia pemuja kebebasan, individualis-dingin yang bertolak-belakang dengan kehangatan timur kita.
Namun, berbagai fakta yang terjadi di hadapan mata ketika di Amerika,
membuat saya bertanya, masih relevankah persepsi-persepsi itu? Apakah
kita benar-benar ramah dan hangat? Saya yakin, tidak saya seorang diri
yang mempertanyakan ini.
Semua bermula dari rangkaian kejadian sehari-hari.
Kutahan Pintu Untukmu
Di Amerika, kebanyakan pintu tidak memiliki kenop, tetapi hanya
pegangan, sehingga harus didorong atau ditarik dengan tenaga ekstra
karena cukup berat.
Ketika menuju ke berbagai gedung,orang Amerika yang terlebih dahulu
masuk, biasanya menahan pintu tetap terbuka agar orang lain di
belakangnya, termasuk saya, bisa ikut masuk.
Kejadian pintu ditahan terbuka ini, awalnya saya kira hanya
kebetulan, tetapi ketika terjadi setiap hari di berbagai tempat dengan
orang yang berbeda, saya tertegun dan malu sendiri karena tidak pernah
melakukannya untuk orang lain.
Saya merasa sangat egois, karena seumur hidup jarang sekali hal ini
dilakukan. Kalau masuk ruangan, ya masuk saja, buka pintu untuk diri
sendiri. Meskipun awalnya agak canggung, tak ada cara lain untuk
menghapus rasa malu selain melakukan hal yang sama pada orang lain.
Eskalator “Kiri-Kanan”
Keteraturan adalah salah satu perwujudan saling menghargai. Di Amerika, ini bahkan terlihat saat sedang menggunakan eskalator.
Di stasiun Metro, setiap badan eskalator seakan memiliki batasan
semu, bagian kiri dan kanan. Sisi kanan untuk pengguna yang tidak
terburu-buru dan sisi kiri bagi yang bergegas sehingga bisa terus
bergerak.
Alhasil, siapapun yang terburu-buru tidak kesal jika orang di
depannya tidak bergerak. Dan yang santai, juga tidak terganggu karena
orang di belakangnya ingin memotong jalan. Mungkin terlihat sederhana,
tetapi dari hal-hal kecil inilah keteraturan hidup sebuah masyarakat
bermula.
Bising “Terima Kasih”
Ucapan terima kasih terdengar di mana-mana. Misalnya ketika turun
bus, penumpang mengantri turun, lalu satu persatu menggaungkan terima
kasih kepada supir. Rasanya tidak mungkin terjadi di Indonesia: bus
langsung tancap gas, bahkan sebelum penumpangnya sempat menginjakkan
kaki di jalan.
Budaya mengantri sendiri sudah mendarah daging, termasuk untuk hal remeh-temeh seperti antri berfoto di tempat wisata. Ini mereka lakukan dengan inisiatif sendiri, tanpa peraturan dan tanpa penjagaan.
Saya sempat mengurut dada ketika antri hampir setengah jam hanya
untuk berfoto di lambang Las Vegas. Sempat terpikir, keadaan ini sudah
berlebihan. Namun, jika semua orang seperti saya dan memutuskan berfoto
di sudut mana pun yang mereka mau, kekacauan lah yang terjadi. Wajar, di
Amerika jarang terdengar ada orang yang terinjak-injak atau pingsan
sesak nafas karena mengantri.
Sapaan Semu?
Kehangatan juga menembus dimensi kata-kata. Telah menjadi kebiasaan
di Amerika untuk bertegur sapa bertanya kabar ketika berpapasan, “How are you?” “I’m good, thanks?” bahkan dengan orang tak dikenal.
Saya sempat berpikir negatif, menuding ada kemunafikan di tengah
kebiasaan ini. Semuram apapun kondisi hati seseorang, mereka cenderung
menjawab “baik-baik saja”. Ini tidak jujur, apa gunanya?
Namun, lama-lama, ketika melaksanakan sendiri sapaan tersebut setiap
hari, saya mulai mengerti bahwa budaya yang sangat sederhana ini
memiliki makna filosofi yang dalam: betapa setiap orang selalu peduli
dan siap menjadi pendengar cerita dan keluhan orang lain, bahkan yang
tidak dikenalnya.
Selain itu, yang mungkin sudah sering kita dengar, setiap perpisahan
berujung saling mengucap “Have a good day!” dan “You, too.” Kalimat yang
jika direnungkan, dalam taraf yang berbeda, serupa dengan ungkapan
Assalamualaikum-Wa’alaikum salam.
Silahkan Lewat
Di mana lagi tempat di bumi ini, mobil berhenti dan mempersilahkan pejalan kaki menyeberang di hadapannya terlebih dahulu?
Saya sangat akrab dengan jalanan Ibukota yang kadang terasa sangat
brutal. Nyawa seakan dipertaruhkan di setiap langkah. Pengemudi mobil
dan motor menjadi raja jalanan. Pejalan kaki termajinalkan.
Di Amerika, pejalan kaki bagai makhluk mulia. Seringkali ketika
hendak menyeberang, saya berhenti karena ada mobil yang akan lewat.
Tetapi yang terjadi kemudian, malah mobilnya yang berhenti dan
mempersilahkan saya menyeberang.
Betapa orang menghargai satu sama lain, bahkan bisa dilihat saat
menggunakan lift. Siapapun yang masuk lebih dulu, dipersilahkan keluar
terlebih dahulu jika lantai tujuan sama, meskipun orangnya berdiri jauh
dari pintu lift.
Manusia Setengah Dewa
Yang paling menyentuh adalah bagaimana Amerika memperlakukan
orang-orang berkebutuhan khusus selayaknya manusia, yang berhak
merasakan apa yang seharusnya mereka rasakan.
Di lapangan parkir, lampu rambu-rambu lalu lintas, toilet, jalan
masuk ke gedung, kendaraan umum, bahkan bioskop, memiliki tempat bagi
orang berkebutuhan khusus. Ini bukan untuk mengistimewakan, tapi agar
mereka bisa menjadi manusia seutuhnya, memperoleh haknya terlepas dari
apapun kekurangan mereka.
Saya semakin terkesima ketika tahu perhatian ini merambah dunia
pekerjaan. Ketika membeli tiket film di bioskop, tidak jarang saya
dilayani oleh seorang tuna-rungu atau petugas yang duduk di kursi roda.
Paradoks
Apa yang saya lihat sedikit banyak memberi jawaban, mengapa tidak
sedikit orang Indonesia yang pernah tinggal atau mengecap pendidikan di
luar negeri, tidak ingin kembali ke tanah air. Selain karena lapangan
pekerjaan yang layak di luar negeri, kenyamanan dan rasa dihargai
sebagai individu, tidak melihat warna kulit, agama dan asal negara,
tidak dapat dipungkiri ikut menjadi alasannya.
Saya sempat berpikir, apakah sebutan dunia luar terhadap kita sebagai
bangsa yang ramah, masih relevan? Apakah kita dinilai ramah oleh orang
asing, padahal kita hanya ramah kepada mereka tetapi lupa terhadap
bangsa sendiri?
Saya masih ingat, jika ada turis asing datang ke kampung, saya dan
anak-anak kecil lainnya berlari untuk bisa menyapa mereka dengan bahasa
Inggris, “Good morning, Sir!” minta bersalaman. Turis-turis pun
diberikan pelayanan ekstra dengan senyum sumringah. Mereka diperlakukan
selayaknya, bahkan seakan diagungkan. Mungkin dari sinilah mereka
menilai kita sebagai orang-orang yang hangat.
Ironis, keramahan yang sama kerap terlupakan untuk orang dekat
sendiri, terjadi di Indonesia, negara yang justru terkenal dengan
berbagai aturan adat, norma kesopanan, dan ajaran-ajaran agama yang kuat
dan menopang berbagai sendi kehidupan.
Memang tidak adil membanding-bandingkan dua kebudayaan yang telah
terbangun berabad-abad dengan karakter dan keunikannya masing-masing.
Tambah tidak adil lagi membandingkan Indonesia dengan Amerika, yang
telah lama diamini dunia sebagai negara maju dari berbagai bidang.
Namun, saya yakin tetap ada celah untuk mengkritik persepsi kita
tentang “budaya barat” dan “budaya timur”. Ada celah untuk mengatakan
keramahan bukanlah soal timur dan barat. Keramahan bukanlah soal ras dan
warna kulit. Namun, keramahan adalah wujud penghargaan manusia terhadap
manusia lainnya, yang tak pandang buluh dan merata. Keramahan, yang
rasanya janggal bagi saya mengakui Indonesia sebagai representasi
“timur” sebenarnya, karena ada “timur” yang jauh lebih kental di
“barat”-nya Amerika. ()
Rafki Hidayat
Email : rhidayat@voanews.com
Twitter : @RafkiHidayat