“What if…”
"What" and "If" are two words as non-threatening as words can be. But put them together side-by-side and they have the power to haunt you for the rest of your life: What if? What if? What if?
(Letters to Juliet)
Kini, saya ngga bisa menyangkal bahwa apa yang orang tua saya lakukan dulu adalah demi kebaikan anak-anaknya. Sejak kelas 4 SD hingga 2 SMP, saya cukup jengkel karena merasa ‘dipaksa’ untuk selalu minum minimal segelas susu setiap pagi atau dua gelas setiap pagi dan sore. Saya tidak suka minum susu.
“Mam tahu kamu-kamu (saya, kakak dan adik saya) ngga suka, tapi kamu akan berterima kasih nanti karena ‘dipaksa’ minum (susu)”
Saya akui, berterima kasih bertahun kemudian, karena berkat ‘pemaksaan’ itulah kami anak-anaknya punya asupan kalsium yang baik selama masa pertumbuhan. Pengetahuan yang baru saya tahu saat-saat SMA. Saya suka minum susu sekarang.
Pengalaman ini seringkali saya ceritakan ke orang lain, supaya mereka cenderung membiasakan minum susu daripada minum air gula (you know what I mean). Air gula jadi tren besar buat anak-anak. Konon, karena sensasi menggelitiknya waktu minum. Whatever…
Pengalaman sama terjadi di studio arsitektur. Siapa yang tidak mau bertemu dengan dosen atau asisten dosen yang ramah dan baik? Saya juga mau. Tergantung dari sudut pandang mana mahasiswa melihat dosen tersebut.
Dosen bisa ‘dicap’ tidak baik karena menyuruh mengulang desain mahasiswa yang sudah jadi. (lihat cerita Coret Hapus),
Dosen bisa ‘dicap’ buruk karena (dianggap) pelit memberi nilai.,
Dosen bisa ‘dicap’ jelek karena komentar-komentar nyelekitnya., dsb,
Sebagian yang pro membenarkan (dan mungkin menyadari) sebagai latihan dunia kerja. Tapi ngga sedikit juga yang kontra karena menganggap “tidak usah berlebihan lah, masih mahasiswa ini gitu lho…”. Justru karena mahasiswa itulah…
Bertahun kemudian (dan setelah lulus), saya tahu bahwa saya harus (sangat) bersyukur bertemu dengan dosen-dosen yang ‘keras’. Mereka mengajar untuk lewat proses. Desain yang bagus ngga terpatok sama produk akhirnya, tapi bagaimana proses yang terjadi. Mahasiswa bisa memberikan alasan kenapa dirinya mengambil keputusan desain seperti yang diasistensikan. Seorang dosen yang saya kenal suka mengomentari dengan kata “what if?” tadi.
Bagaimana jika …. (membuat cerita dengan desain seorang mahasiswa yang sedang asistensi).
Saat asistensi kelompok, kami (para mahasiswa) mendengar apa yang beliau katakan memang lucu. Akan tetapi, belum tentu untuk semua orang. Saya alami beberapa kali, mungkin karena satu-dua kali tidak membuat saya sadar.
Mereka mau membuat mahasiswa mengembangkan cara berpikirnya. Cara itu memang terbukti cukup jitu untuk menguji desain yang dibuat. Sederhanya saja, tanyakan pertanyaan-pertanyaan ekstrim yang berkaitan dengan desain. Sederhana saja, misalnya tentang area drop off, tanya gimana kalau yang datang satu keluarga (maksudnya orangnya sedikit), gimana kalau rombongan (orangnya banyak), gimana kalau hujan badai dan tamu harus menurunkan barang, dsb2…
Jadi, jangan buru-buru memberi cap kepada dosen.
Siapa tahu justru harus berterima kasih kepada mereka karena yang mereka lakukan adalah demi kebaikan atau cara itu justru kita pakai di tempat kerja sekarang?