|
Ibu yang satu ini selalu populer di kalangan anak2 SD |
Old and New : Coret atau Hapus
Saya ingat saat SMA dahulu, satu kerjaan yang paling melelahkan waktu sekolah adalah menulis tangan. Menulis untuk mencatat, ngerjain tugas, ngerjain PR yang belom kelar, atau ngerjain ulangan. Biasanya satu hari sekolah bisa ketemu 5-6 guru mata pelajaran berbeda. Lima guru berbeda, artinya bisa ketemu cara mencatat yang berbeda, masing-masing dengan ciri khasnya. Misalnya saja, ada yang lebih senang lihat catatan murid yang bersih tanpa coretan, ada yang senang dengan cara menulis murid yang sistematik dengan bagan-bagan, ada yang senang dengan penomoran/hirarki saat mencatat (seperti menulis ilmiah), atau full color/multi warna, dst.
Old : Note and Test
Dulu : Catatan dan Ulangan
Hampir sepanjang SD dan SMP saya diajari untuk mencatat dengan rapi dan sistematik oleh guru. Mereka bermaksud supaya ketika dipakai belajar, jadi lebih mudah dimengerti. Hingga saya bertemu seorang guru BI (bahasa Indonesia) waktu tahun terakhir di SMA. Saya ingat beliau mengatakan, “Jika salah, cukup coret saja atau beri tanda kurung bagian yang salah lalu beri tanda silang.” Saya masih ingat jelas karena cukup mengherankan yang mengajarkan demikian adalah guru bahasa yang cukup senior di sekolah. Kalau guru-guru yang lain sih, saya kira lumrah2 saja.
Padahal di saat yang sama, seorang guru mata pelajaran lain sangat tergila-gila untuk melihat catatan muridnya harus bersih. Jika salah HARUS di-tipX. Begitu juga ketika ulangan. Kertas ulangan yang kotor bisa mengurangi nilai, meskipun coretannya tidak mengganggu saat dibaca.
Lanjut lagi. Ternyata, keinginan beliau punya filosofi tersendiri. Beliau menjelaskan ketika murid bertanya apa maksudnya. Tulisan yang salah dibiarkan ada di situ supaya kita ingat dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sekali mencoret tentu tidak terlalu mengganggu catatan , tetapi jika salah terus-menerus, tentu catatan akan makin kotor dan membosankan untuk dibaca. Dengan mencoret jawaban/tulisan yang salah, artinya kita (murid-murid) diajarkan harus teliti sebelum menulis, berpikir lebih dahulu sebelum menjawab. Kesalahan yang sudah dipakai sebagai pelajaran ke depannya.
Setelah tahu, cara ini mulai saya pakai untuk mata pelajaran lain. Saya yakin banyak teman-teman saya juga melakukan hal yang sama. Mungkin, terkecuali dengan murid-murid lain yang gila bersih.
New : Working Drawing
Baru : Gambar Kerja.
Cara beliau ternyata saya jumpai lagi waktu kuliah. Hanya perbedaannya, ketika waktu dulu tulisan catatan dan ulangan, sekarang adalah gambar. Jika dulu, yang mencoret2 diri sendiri, sekarang dosen yang corat-coret.
Sebagian besar mahasiswa jelas-jelas tidak menyukai cara ini. Dosen yang ‘menganut’ cara ini juga bisa terancam tidak difavoritkan mahasiswa. Kebanyakan tidak menyukai cara ini karena melelahkan. Pembuatan gambar kerja yang tidak sebentar, proses putar-putar otak, hasil mikir sana-sini, dan begadang2 segala, nyatanya ‘hanya’ untuk jadi bahan corat-coret dosen. Kalau sebagian besar mencoret dengan pensil, ada pula yang memakai tinta atau spidol. Tujuannya, ya jelas, supaya ketika diperbaiki, mahasiswa bikin ulang. Belum lagi ditambah kalau dosennya sambil ‘menghina-hina’ kerjaannya. Gambar yang sudah disajikan di atas kertas roti, terpaksa tidak bisa diperbaiki dan harus dibuat ulang.
Secara khusus, saya baru bertemu dengan dosen seperti ini di akhir tahun kedua. Walaupun memang melelahkan pada kenyataannya, saya coba praktekkan juga, sambil teringat apa yang dikatakan guru BI saya dulu. Ngga lama sejak itu, saya coba belajar dari apa yang teman saya lakukan. Ternyata ada pula teman-teman yang sudah membiasakan cara ini. Kini, saat masa digital, daripada mengubah hasil kerjaan yang telah ada, maka lebih baik jika menggandakan file asli kemudian diberi nama baru, dst. Lewat filosofi yang sama, kesalahan yang lama bisa dipakai sebagai bahan pelajaran ke depan. Yang salah biarkan lewat, mulai dengan yang baru.