TAKSI
Lagi, tulisan tentang taksi (di Bandung).
Semoga ngga bosen dan sharingnya bisa bermanfaat buat yang baca.
Beberapa kali sharing tentang taksi, saya sadar
ada yang terlewat setelah menonton acara Scam City, National Geographic yang
dihost oleh Connor Woodman.
Apa yang saya lihat di Scam City, hampir
sebagian besar tempat-tempat yang dikunjungi, taksi selalu menjadi sarana scam para turis.
Sebelum-sebelumnya, saya sharing sebagai
penumpang lokal. Pengguna lokal, itu saja. Tapi kira-kira bagaimana kalau
sebagai turis? Apakah perlakuannya akan berbeda?
Cerita saya sharing berdasarkan tanya jawab dan
wawancara dengan para supir taksi dan sharing-sharing orang lain. Memang, ada
supir yang enak diajak ngobrol, ada juga yang ngga suka ngobrol. Terpaksa diam
sepanjang jalan, mendengarkan radio. Bagus kalo mendengar siaran radio, tetapi
ngga sedikit yang memperdengarkan percakapan radio taksinya.
Cerita-ceritanya, tidak berarti semua supir berlaku
demikian, tetapi bukan berarti juga sama sekali tidak ada. Saya ceritakan apa
adanya, tanpa promosi atau memojokkan pihak tertentu.
Apa ada perlakuan berbeda ketika diajak
bicara atau ngobrol?
Ya.
Jangankan dengan turis asing yang berbahasa
berbeda. Dengan sesama orang Indonesia pun, yang berlogat berbeda, bisa jadi
berbeda. Saya alami hal ini di beberapa taksi. Ketika saya mengajak ngobrol
dengan bahasa Indonesia, ia (supir) hanya menjawab sebatas yang ditanya.
Ketika saya tahu bahwa ia berbicara dengan
bahasa sunda, maka saya coba balas dan mulai ngobrol dengan campur bahasa
Indonesia dan sunda. Saat itulah, ia terlihat lebih santai dan nyaman untuk
bercerita…panjang lebar.
Meskipun saya lahir di Bandung, ada beberapa
kejadian, saya sempat diduga turis dari Malaysia, Singapura, Tiongkok, Korea,
atau bahkan transmigran dari Kalimantan atau Medan. Kejadian untuk supir-supir
yang bukan dari daerah parahyangan.
Seringkali sulitnya berakting sebagai turis
adalah supir-supir itu mengenal aksen bicara saya yang nyunda banget. Saya memang tidak jago akting.
Turis susah dapat taksi?
Masih banyak atau sebagian besar supir yang
tidak bisa berbahasa inggris, ternyata membuat mereka enggan menaikkan penumpang turis asing. “Repot, susah jelasinnya!”
Turis Malaysia dan Singapura, katanya masih
bisa sedikit-sedikit bahasa Indonesia. Jadi supir yang paham akan menaikkan
mereka. Sebagian besar dari mereka pun hanya menyebut tujuannya, Pasar Baru,
Lembang, Rumah Mode, dll. Supir tinggal mengarahkan.
Argo?
Duid memang selalu jadi perbincangan. Saya
mendapati bahwa turis tetangga punya preferensi satu perusahaan taksi, BB. Mungkin
karena pengawasan ketat perusahaannya, jadi tetap berpegang menggunakan argo
asli taksinya. Turis yang beberapa kali datang ke Bandung jadi mengerti.
Apa sebabnya, banyak. Salah satunya adalah
penerapan argo asli atau borongan. Masih ada taksi-taksi yang ngakunya bersih
dari borongan, tapi melakukan borongan ke turis lokal (dari luar kota) dan
mancanegara.
Kenapa bisa begitu, saya simpulkan kemungkinan
tarif ongkos taksi di Bandung ini memang tergolong murah di bandingkan taksi di
negaranya. Jadi, cukup banyak turis yang memberikan uang sratus ribu, tanpa
kembalian. Bisa jadi, selembar merah ini sebenarnya masih jauh lebih murah
daripada ketika ia kurskan ke mata uang negaranya. Kemudian, para supir pun men-generalisasi
bahwa turis ‘mau’ dengan argo borong. Hal ini yang merusak harga.
Itu sebabnya, kenapa turis yang sering
datang, cenderung memilih ke taksi BB.
Bagaimana suasana di taksi BB, yang membuat
penumpang balik lagi?
Ada beberapa hal yang saya perhatikan,
suasana BB yang berbeda dari taksi lain, meskipun dengan tarif yang sama.
1. Selalu pakai AC. (saya sempat singgung
di post lalu)
2. Suasana dalam tidak ribut dengan radio
perbincangan supir dan operator. Memangnya turis mau mendengarkan? Supir-supir
yang sadar, suka mengecilkan suara, tapi ada juga yang kejar tayang. Penumpang
di dalam belum sampai tujuan, sudah nyabet
penumpang baru.
3. ID Supir. Penumpang lebih tenang dan
nyaman ketika tahu siapa yang mengendarai taksinya. ID ini harusnya ada di
semua taksi, tapi banyak yang tidak menyertakan juga sehingga mencurigakan
apakah supir asli atau supir tembak.
4. BB dan Cp, punya penampilan supir yang
baik dan kelihatan profesional. Coba perhatikan dari baju, celana, dan
sepatunya. Sangat berbeda dengan supir yang mengendarai dengan sendal jepit
atau telanjang kaki.
5. BB melakukan marketing di dalam taksi
dengan majalah internalnya. Saya tertarik di salah satu halaman yang menuliskan
daftar barang kembali. Barang-barang penumpang yang tertinggal dikembalikan ke
pemiliknya.
Saya merasa hal ini bisa berdampak bagi
penumpang memberikan image sebagai taksi yang aman dan profesional.
Selebihnya, scamming taksi yang paling sering adalah diajak berputar-putar.
Jadi survey lebih dulu tentang peta jalan kota/tempat tujuan jika harus
menggunakan taksi. Have a safe trip in Bandung!
**Jangan sampai cerita tentang taksi mengurungkan niat ke Bandung. Masih banyak hal-hal menarik yang bisa jadi bahan cerita seumur hidup ketika berkunjung di Bandung. Kota ini lagi bangkit. :)**
Pray for Indonesia, Jesus bless Indonesia.